Dina kembali ke rumah saat jarum pendek jam menunjukan angka 23:27 WIB dengan perasaan campur aduk.
Senyumnya terpancar cerah sejak turun dari motor vespa milik Aril. Ia kemudian menyeret kakinya pelan tuk masuk ke dalam kamar. Namun, saat sampai di dalam kamar, matanya terbelalak saat melihat Tante Lina tengah tertidur memeluk Syaqila dengan mesranya, itu membuat ia teringat akan sosok sang ibu yang selalu memeluknya saat tidur dulu.
"Tante? Kenapa dia nggak kerja di tempat pelacuran itu lagi," sinis Dina. Walau ia merasa senang saat melihat tantenya di situ. Setidaknya, malam ini ia merasa Syaqila akan baik-baik saja.
Karena hal itu pula, ia memilih untuk tidur di kamar milik kedua orangtuanya. Ia berjalan pelan menyusuri ruang-ruang rumah untuk menuju kamar mereka. Ingatannya kembali muncul tentang momen tadi, momen yang tak terduga dan sulit ia lupakan. Setelah sampai di kamar kedua orangtuannya. Dina langsung merebahkan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit rumahnya dan kembali merekahkan senyum.
Seperti menonton film, Dina kembali mengenang momen dirinya dan Aril tadi, saat berpelukan di kala air hujan mendarat di bumi. Dan Aril memakaikan jaketnya ke tubuh Dina yang mulai merasakan dingin.
"Astaga! Jaketnya Aril." Dina ingat sekarang. Ternyata jaket berwarna hitam ini masih membungkus tubuhnya.
"Kok bisa lupa sih," dumel Dina lalu duduk bersilah di atas ranjang.
Tapi, kepanikan itu hilang saat ia kembali mengingat pelukan hangat yang Aril berikan setelah gemuruh kedua.
Sebenarnya pelukan itu tidak disengaja, tapi karena dinginnya malam sehingga membuat Aril juga mendekap tubuh Dina. Kata Aril, pelukan itu ia berikan untuk membuat Dina tetap hangat, tidak lebih.
Pelukan seperti itu jarang sekali Dina dapatkan. Dina bisa merasakan kehangatan itu lagi, kehangatan saat sang ayah memelukannya. Aril benar, pelukan memang baik jika diperuntukan untuk hal baik.
Setelah hujan itu reda barulah mereka berdua melanjutkan perjalanan membeli perlengkapan untuk pesta ulang tahun di salah satu toko khsusus penyedia barang-barang itu.
Semua yang mereka beli bernuansa steoberi dan berwarna pink. Karena Anisa, selaku yang berulang tahun sangat menyukai warna pink dan menggemari buah stroberi. Ketika semua selesai, Aril belum mengantar Dina pulang, ia malah mengajak Dina makan di KFC. Karena Dina merasa lapar, ia pun mengiyakan ajakan Aril.
Saat itu KFC sedang sepi akibat hujan dan sudah mulai larut. Saat dua anak manusia itu masuk ke dalam untuk memesan menu. Entah disengaja atau tidak, Aril menggenggam tangan Dina erat, ia menyelipkan jari-jarinya ke jari-jari lentik Dina.
"Ke ... kenapa?" Dina sempat mengelak saat Aril berbuat demikian. Tapi seutas senyum yang Aril berikan membuat Dina luluh juga.
"Mbak, super besar dua yah," kata Aril memesan.
Dina terkesiap. "Aku Spaghetti deluxe aja, Mbak."
"Jangan, Mbak. Disamain aja," sela Aril.
Dina mencubit pelan lengan Aril. "Gue nggak kuat makan. Kebanyakan." Dina mememoloti Ari.
"Kalo nggak kuat, kan, tinggal gue yang habisin," jawab Aril santai.
Dina mendengkus pelan. Ia kalah debat. "Iya, Mbak. Disamaiin aja."
Saat mereka makan, Dina dapat melihat ketampanan Aril dari dekat. Ia ingat kembali, Aril adalah orang pertama yang mengajaknya berkenalan sebagai sesama pengurus OSIS.
Setelah selesai makan, mereka kemudian kembali ke rumah. Namun lagi-lagi Dina tidak langsung diantar ke kediamannya. Aril malah berhenti di depan sebuah mini market.
KAMU SEDANG MEMBACA
How The Love Works
Ficção AdolescenteHow the love work. Bagaimana cara cinta bekerja? Mudah saja, kadang ia memisahkan pasangan paling romantis di dunia. Kadang pula, ia menyatukan musuh dalam satu ikatan.