4. Makna Kehilangan

19 2 0
                                    

Anisa mengerjapkan mata berulang kali saat menatap Dina berada di depan gerbang sekolah.

Seringai lebar yang memperlihatkan deretan gigi rapi begitu kontras dengan apa yang Anisa lihat pada raut wajah Dina dua hari lalu, saat ia ikut mengantar kepergian ayah Dina.

Apa Dina nggak apa-apa? Bukanya ni anak katanya mau nenangin diri selama lima hari? Nggak mau ditemuin juga kemarin, eh, baru tiga hari udah datang, pake nyengir lebar segala lagi, Batin Anisa heran. Tapi ia merasa geli sendiri sekaligus senang.

"Kamu nggak apa-apa, Din. Yakin mau sekolah hari ini?"

Dina menggangguk sembari menyengir. "Nggak apa-apa, Nis. Aku udah nggak apa-apa, kok."

Anisa mengerenyitkan dahi. Sungguh, apa yang Dina tampilkan membuat ia takjub sekaligus terkejut. Dina sudah kehilangan ibunya saat ia masih kelas 3 SMP dan beberapa hari lalu, ia baru saja kehilangan sosok ayah. Tapi Dina datang dan bilang tidak apa-apa? Itu mengejutkan Anisa. Walau yang paling membuat Anisa terkejut adalah wajah cerah yang Dina tampilkan hari ini secerah langit pagi.

"Bener nggak apa-apa? Kalau ada apa-apa kasih tahu yah."

Dina mengangguk meyakinkan.

Hari ini adalah hari baru setelah tiga hari sebelumnya dilalui Dina dengan duka yang mendalam.

Sebenarnya ia memang tidak berniat ke sekolah hari ini karena patah hati, ya, laki-laki pertama yang mencintainya yaitu sang ayah baru saja pergi. Tapi setelah berbicara dengan laki-laki berkemeja semalam membuat Dina menjadi kuat.

Dina seketika kembali teringat percakapan semalam.

"Nggak usah beralama-lama meratapi kepergian. Semua bisa pergi kapan saja. Ada yang pergi tanpa pamit dan ada yang pergi taklupa pamit. Jadi, sebagai manusia. Kita harus siap dengan semua itu, karena segala peristiwa di bumi adalah rentetan kejadian yang menjadi alur kehidupan. So, jangan berkecil hati. Masih banyak orang di sekitar kamu yang menyanyangi kamu," ujar laki-laki berkemeja. Dia adalah Gilang Airlangga Putra, tetangga sebelah rumahnya, yang sedang kuliah di Universitas Indonesia jurusan Hukum.

Dina segera menyeka air mata yang membekas di pipi setelah Gilang bicara seperti itu.

"Kak Gilang," decak Dina kemudian coba memekarkan senyum. "Kak Gilang darimana?"

Gilang masih tersenyum, ia lalu berjalan mendekat ke arah Dina. Di tanganya terdapat kantong plastik yang berisi sesuatu.

"Aku dari Banten semenjak minggu lalu untuk praktek mata kuliah hukum adat, dan baru saja tiba di rumah," kata Gilang yang sudah berdiri tepat di depan Dina.

"Aku boleh duduk di samping kamu, Din?" tanya Gilang kemudian.

"Si ... lakan, Kak." Dina mempersilakan Gilang duduk di kursi yang satunya.

Kini mereka sudah sama-sama duduk. Hanya dipisahkan oleh meja dari kayu jati.

"Ini martabak untukmu." Gilang menaruh kantong plastik yang ternyata berisi martabak cokelat spesial di atas meja.

Dina berusaha tersenyum walau getir saat melihat itu. Bibirnya lalu bergerak mengucap terima kasih dengan begitu pelan.

Gilang membalas dengan senyum lalu meraup udara kemudian diembuskan perlahan. Ia kemudian berkata, "Aku sudah tau mengenai meninggalnya ayahmu dari ibuku." Gilang menjeda kalimat untuk melihat reaksi Dina. Tapi Dina hanya mengangguk. "Ayahku pernah meninggalkanku juga saat aku masih berusia 10 tahun. Dan, yah, mungkin waktu itu aku belum terlalu bisa memaknai perasaan kehilangan itu. Tapi, semenjak aku tumbuh seiring waktu, baru aku bisa memaknai kata kehilangan yang sebenarnya. Menurutku, kehilangan adalah rintangan paling sulit yang harus dilalui manusia. Kehilangan menghadirkan rasa rindu, kehilangan menghasilkan rasa duka, dan, kehilangan mengajarkan manusia untuk memaknai kata 'ada'."

Seketika, Dina menoleh ke arah Gilang sehingga sorot mata sendunya dan mata Gilang saling beradu.

"Aku baru kehilangan papaku dua hari yang lalu, tapi sungguh, aku sudah rindu dengannya. Aku butuh ketenangan, karena itu aku sering menyendiri. Siapa tau rindu ini akan terobati," ujar Dina dengan lembut.

Gilang menangguk paham.

"Ketenangan bukan hanya datang dari kesenderian, Din. Ketenangan juga datang saat kamu bisa berbagi cerita dengan orang yang kamu sayang dan percaya. Seperti berbagi kisah dengan sahabat misalnya."

Sontak, hati Dina seolah tersindir. Seketika ia merasa apa yang ia lalukan selama ini salah dengan tidak membiarkan Anisa menemuinya?

Kak Gilang benar, kenapa aku tidak melalui ini semua dengan sahabatku sendiri, bukanya aku dan Anisa memang sudah sangat sering berbagi cerita? Dan saat kami bercerita, rasa bahagia, nyaman, dan ketenangan berbaur menjadi satu.

"Apa yang sering Kak Gilang lakuin kalau rindu?"

"Rindu ayahku?

"Iya."

"Sebenarnya, aku sama ayahku tidak terlalu akrab. Karena memang ia sangat sibuk semenjak aku di kandungan. Tapi tetap saja, ada rasa rindu yang menyelip dalam setiap aktifitasku. Dan, saat aku rindu sama dia. Biasnya aku memandangi fotonya dan pergi ke makamnya. Itu saja."

Seketika bibir Dina melengkung ke atas memperlihatkan seutas senyum manis. Gilang yang melihat senyuman itu langsung ikut tersenyum.

Ia kemudian teringat kata ibunya, "Setelah pulang, hibur si Dina. Dia masih dalam suasana duka. Ibu yakin kamu pasti bisa membuat senyum manisnya itu kembali mengembang." Sepertinya Gilang berhasil.

How The Love WorksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang