Hidup dan mati memang tidak bisa dipisahkan. Sesuatu yang hidup pasti akan mati.
Seperti halnya manusia yang kehidupan dan kematiannya hanya terpisah oleh waktu.
Satu hal yang pasti. Kematian yang datang selalu menyelipkan duka lara yang sulit hilang.
Ya, duka lara. Itulah yang dirasakan Ardina Anastasya sore ini. Pandangan matanya sembab menahan pekikan tangis. Air mata yang terus mencoba merembes keluar selalu ia tekan agar tidak jatuh. Tapi sayang, hati tidak bisa berbohong akan kepedihan yang Dina rasakan. Dadanya sesak, pandangannya buram dan pikirannya kacau setelah mendengar kabar bahwa sang ayah telah menghembuskan napas terakhir.
"Kiri, bang," ucap Dina lirih. Perasaannya masih begitu kacau. Apalagi setelah melihat kerumunan orang dan bendera kuning di depan rumahnya.
Saat sakit, sang papa memang lebih memilih untuk dirawat di rumah karena tidak ingin membuat anak-anaknya khawatir.
Setelah membayar dan turun dari angkot. Tangisan Dina sudah pecah.
"Papa ...." pekik Dina seraya berlari memasuki rumah.
Orang-orang yang tengah melayat menatap Dina penuh kasihan. Tatapan mereka seolah berkata, kasihan dia, sudah tidak punya orang tua, bagaimana nasibnya ke depan? Apa dia bisa bertahan dengan kondisi ini? Seperti itu kira-kira pertanyaan yang muncul dari tatapan tetangganya sekarang.
Dina terus berlari sampai akhirnya ia melihat tubuh ayahnya kini terbujur kaku dengan wajah pucat pasi sedang terbaring di kasur. Ia berhenti di ambang pintu. Tidak kuasa melihat ayahnya, orang yang telah membesarkan dirinya dengan penuh cinta kasih kini telah tiada. Tangan Dina gemetar hebat, bibirnya ikut bergetar beriringan dengan suara memekik saat memanggil ayahnya. Air matanya sudah merembes keluar.
"Papa!!" Dina berteriak histeris sambil mendekat. Kini ia sudah berada di samping sang ayah.
"Kenapa Papa pergi, Pa. Bangun, Pa. Banguuunnnn ...." Dina semakin histeris saat menatap wajah ayahnya dari dekat. Ia memeluk erat tubuh ayahnya. Memanggil nama 'Papa' dan berharap ayahnya akan bangkit dari kematian. Namun sayang, itu tidak akan pernah merubah apa pun. Ayahnya yang menderita arteri jantung dan diabetes itu kini sudah tidak bernapas lagi, sudah meninggalkan Dina untuk selamanya.
Orang di sekitar Dina coba menenangkan, mereka berusaha agar Dina tidak terlalu histeris meratapi sang ayah. Tapi tetap saja Dina tidak bisa.
"Bangun, Pa. Kemarin Papa bilang kalau Papa kuat untuk menghadapi penyakit. Papa bilang kalau penyakit yang Papa derita hanya seperti gelitikan. Tapi apa? Papa bohong sama, Dina. Papa sekarang udah pergi. Papa ...." Perasaan Dina begitu kacau. Ia semakin histeris. Sampai-sampai beberapa tetangganya mencoba menahan geliat Dina.
Tante Lina yang baru tiba setelah menjemput adik Dina dari kursus bahasa Inggris langsung memeluk Dina dari belakang. Tante Lina tau, yang Dina butuhkan adalah pelukan penenang.
"Tan ... te. Papa ...." Air mata Dina terus keluar. Ia yang mendapati dirinya dipeluk sang Tante langsung memeluk balik. Ia kemudian beralih memeluk adiknya yang masih menganga dengan tatapan polos, tidak mengerti dengan kejadian yang sedang berlangsung karena masih duduk di bangku kelas 1 Sekolah Dasar. Dina memeluk sang adik, Syaqila Anastasya, dengan sangat erat seolah tidak ingin melepaskan. Tidak ingin kehilangan orang yang ia sayangi lagi.
Syaqila yang melihat tangisan Dina itu pun ikut melelehkan air mata. Yang Syaqila tau, ketika kakaknya itu menangis, pasti ada alasan dibalik itu semua.
"Kakak sayang Qila. Qila rajin belajar yah." Lirih betul kalimat yang dikeluarkan Dina itu. Matanya merah menatap Syaqila penuh arti.
Syaqila yang dijemput tante Lina sedari tadi tidak mengetahui apa yang terjadi. Ia masih sangat kecil dan polos. Tentu sulit mencerna keadaan di sekitar. Tante Lina juga tidak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Kak Dina, kenapa nangis?" tanya Syaqilla. "Kenapa orang-orang itu di dekat papa? Apa papa sedang tidur?" Beragam pertanyaan polos itu semakin membuat Dina tak kuasa menangis. Begitupun Tante Lina.
***
Sudah dua hari setelah kepergian sang ayah. Akantetapi, awan mendung masih saja hinggap di hati Dina. Hal itu menyebabkan ia lebih sering melamun dan termenung dalam kesenderian. Karena hal itu pula, Dina bahkan tidak mau ditemui oleh siapapun termasuk sahabatnya, Anisa.
Seperti hari ini. Dina termenung sendiri di depan rumah untuk kesekian kalinya dalam dua hari berturut. Pandangannya kosong menatap jalan raya yang disinari temaram lampu jalan.
Saat itu sudah jam 9 malam. Ia duduk sendiri ditemani sekotak tisu. Rumahnya sudah tidak seramai saat waktu pertama ayahnya meninggal. Rumah itu kini terkesan sunyi. Sama seperti hatinya sekarang. Tentu saja ia masih belum bisa menerima kepergian ayahnya. Tapi apa boleh buat, di dunia ini, ketetapan Tuhan yang berkuasa.
Pekikan tangisnya beberapa kali terdengar ketika merindukan sosok sang ayah.
"Dina." Suara panggilan lirih terdengar dari ambang pintu tapi tidak ia hiraukan, oh, lebih tepatnya Dina tidak menyadari kalau Tante Lina sudah memanggilnya beberapa kali.
Tante Lina kini tinggal bersama Dina dan Syaqila agar memudahkan dirinya mengontrol keponakannya itu. Selain karena ayah Dina sudah tidak memilik saudara lagi. Dengan tinggal bersama Dina dan Syaqila membuat ia dengan mudah mengawasi kegiatan belajar mengajar mereka sekaligus menjalankan amanat sang kakak. Tante Lina yang masih melajang itu sebelumnya menetap di apartemen yang dekat dengan tempat ia bekerja. Tapi sekarang ia memilih tinggal bersama keponakannya dengan alasan tersebut.
"Dina, kamu nggak apa-apa, kan?" Tepukan lembut menyentuh bahu Dina membuyarkan semua lamunan.
"Tan ... te. Iya, Dina nggak apa-apa."
"Kamu dari tadi belum makan. Ayok makan dulu."
"Nanti aja, Tan. Dina lagi nggak mood makan."
Tante Lina menatap Dina dengan tatapan nanar. Ia tau betul kondisi hati Dina sekarang. Dina butuh ketenangan.
"Yasudah. Tapi kamu harus makan ya. Nanti kamu sakit." Ucapan itu beriringan dengan belaian lembut di surai Dina yang tidak ditutupi hijab seperti biasa.
Dina mengangguk paham. Ia beruntung punya Tante seperti Tante Lina yang penuh pengertian. Tante yang telah menggantikan peran ibunya setelah ibunya meninggal, Tante yang menggantikan peran sang ayah membiayai pendidikan dirinya dan Syaqila semenjak ayahnya dinyatakan menderita penyakit arteri jantung sehingga tidak mampu bekerja. Sungguh, Dina begitu beruntung. Walau Tante Lina, orang yang usianya hanya terpaut delapan tahun dengan dirinya itu tidak benar-benar sepenuhnya mengisi kekosongan di hatinya.
"Tante ke dalam dulu yah. Nanti, kalau kamu mau tidur, tidur sama Syaqila ya," ujar Tante kemudian mengecup ubun-ubun Dina.
"Iya, Tan."
Saat Tante Lina masuk. Dina menatap punggung Tante Lina. Ia kemudian berpikir, andai saja ayahnya tidak memiliki adik sebaik Tante Lina, tentu ia dan Syaqila akan terlantar. Itu pasti.
Dan, tanpa Dina sadari malam sudah semakin larut, tapi Dina masih betah berlama-lama di teras rumah. Lagi-lagi, bayangan ayah dan ibunya kembali muncul di benak yang membuat air matanya untuk kesekian kalinya merembes keluar.
"Nggak usah beralama-lama meratapi kepergian. Semua bisa pergi kapan saja. Ada yang pergi tanpa pamit dan ada yang pergi taklupa pamit. Jadi, sebagai manusia. Kita harus siap dengan semua itu, karena segala peristiwa di bumi adalah rentetan kejadian yang menjadi alur kehidupan. So, jangan berkecil hati. Masih banyak orang di sekiar kamu yang menyanyangi kamu." Suara seoarang pria tiba-tiba membuat Dina menoleh ke sumber suara. Ia melihat seorang laki-laki menatapnya seraya menyeringai. Dina kenal betul laki-laki berkemeja merah marun yang menyirangai ke arahnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
How The Love Works
Teen FictionHow the love work. Bagaimana cara cinta bekerja? Mudah saja, kadang ia memisahkan pasangan paling romantis di dunia. Kadang pula, ia menyatukan musuh dalam satu ikatan.