20. Hamba yang Kekurangan Cinta

4 1 0
                                    

Dina dan Sifa baru saja balik dari kamar mandi. Hal itu Dina lakukan setelah ia menerima pernyataan cinta dari Aril.

Keringat yang membasahi sekujur tubuh, detak jantung yang berpacu melebihi kecepatan normal, dan desiran darah yang mengalir deras masih Dina ingat dengan jelas saat ia menerima pernyataan cinta Aril.

Jujur, jika kalian bertanya apakah Dina merasa bahagia atau tidak, pasti ia akan mengatakan, "aku manusia paling bahagia di dunia.". Semua itu berkat statusnya dengan Aril sekarang. Yang semula hanya sebatas teman, kini sudah resmi berpacaran.

Rasa bahagianya yang teramat dalam itu malah menutupi satu kesalahan yang Dina lupakan. Ya, Aril adalah mantan pacar sahabatnya sendiri. Tentu saja, jika Anisa mengetahui fakta ini. Anisa akan semakin membenci Dina sampai ke darah dagingnya.

Tentu saja Anisa akan membenciya. Karena di saat hubungan Anisa dan Dina retak, semua berawal dari kesalah pahaman. Kalau seperti ini---Anisa mengetahui kalau Aril berpacaran dengan Dina---sudah bisa dipastikan kalau tesis yang Anisa pegang selama ini akan semakin kuat.

Tapi apa boleh buat? Perasaan cinta kadang seperti itu, kan? Dan begitulah cara cinta bekerja. Ia bisa membuat pasangan paling romantis di dunia pisah. Dan ia juga bisa membuat musuh yang saling membenci bersatu.

Hah! Dasar! Cinta kadang begitu. Ia selalu berperilaku menurut apa yang dia rasakan. Bahkan mengesampingkan kaidah dan aturan.

Dan, itulah yang Dina rasakan sekarang. Ia sudah lupa kalau Aril pernah menjalin kasih dengan sahabat baiknya sendiri sehingga ia bisa menerima Aril sebagai pasangannya sekarang.

"Din, sini." Sifa menarik Dina cepat untuk bersembunyi di balik tembok kelas Bahasa C. Kamar mandi memang lebih dekat dengan kelas tersebut.

"Kenapa sih, Sif? Nggak usah tarik segala. Sakit tahu nggak," decak Dina kesal.

"Syutt. Lihat. Aril sama Pak Emil lagi ngomongin apa tuh. Siapa tahu lagi ngomongin momen lamaran kalian berdua, kan." Gelak kecil menyudahi kalimat Sifa barusan.

"Enak aja! Sekolah dululah." Walau kesal, Dina tetap mengulas senyum manis yang sudah sangat melekat pada dirinya.

Tapi, saat Dina dan Sifa memfokuskan telinga mereka untuk menangkap obrolan Pak Emil dan Aril. Sungguh sesuatu yang tak terduga membuat Dina tersentak.

" ... Sebenarnya saya pacaran sama Anisa biar bisa dekat sama Dina ...." ujar Aril yang bisa Dina dan Sifa dengar dengan sangat jelas.

Seketika, bibir Dina bergetar mendengar kalimat itu. Hatinya seolah teriris akibat ucapan itu. Bagaiaman tidak? Di saat ia merasa telah terbang tinggi di antara awan-awan putih yang lembut dan penuh pelangi. Tiba-tiba muncul badai petir yang membuatnya jatuh sejatuh-jatunya.

Apa maksud lo, Ril? Jadi selama ini lo cuma manfaatin Anisa sebagai tumbal kerakusan lo? Dina memekik dalam batin. Lo emang nggak punya perasaan sebagai cowok. Mental lo lemah. Kenapa lo bisa mengorbankan perasaan lain demi perasaan yang lainnya. Dan kedua perasaan itu saling berhubungan satu sama lain? Itu sama aja lo ngadu domba kita berdua.

"Din?" Sifa memanggil Dina lembut sembari memegang bahu Dina yang bergetar karena memekik.

Dina memang sudah pernah menceritakan keretakan hubungannya dengan Anisa.

"Kamu nggak apa-apa, kan?"

Dina tidak menjawab. Ia malah menyandarkan tubuhnya di tembok kemudian duduk dengan tangan memeluk lutut erat.

Lo emang sampah, Aril.

***

Aril berjalan cepat saat Pak Emil keluar kelas. Karena, saat Aril berhasil mengungkapkan perasaannya pada Dina, bertepatan dengan bel pulang yang berdering.

"Pak, Pak, Pak Emil."

Pak Emil menoleh ke belakang. Ia menatap Aril dari ujung sepatu sampai kepala, kemudian mengulas sebuah senyum.

Saat itu mereka sudah berada di koridor sekolah. Beberapa siswa sudah balik ke rumah masing-masing dan sebagian lagi masih terlihat di halaman sekolah.

"Kenapa? Kamu belum puas setelah jadi pacar Dina sekarang?" tanya Pak Emil sembari mengangkat kedua alisnya.

Ya, Aril dan Dina sekarang resmi berpacara setelah Aril menyatakan dengan cara ekstrim. Untung Dina menerima perasaan Aril. Jika tidak, Aril bisa saja menjadi manusia paling malu sedunia. Momen itu direkam jelas oleh empiris Pak Emil yang menyaksikan secara langsung. Ia juga berpesan agar saat pacaran, tidak menimbulkan kerugian satu sama lain. Tentu ia menginginkan yang terbaik untuk semua anak muridnya.

Aril tersenyum kecut seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Bu ... bukan itu, Pak," ungakap Aril.

"Terus apa dong?" tanya balik Pak Emil.

"Sa ... saya mau ngucapin terima kasih ke bapak. Sebenarnya saya sudah suka sama Dina sejak dulu, Pak. Semua cara sudah saya coba biar bisa ngungkapin perasaan saya ke Dina. Dan sekarang baru terealisasi berkat campur tangan Pak Emil."

Pak Emil mengangguk.

"Oh okey. Tapi, bukannya kemarin-kemarin saya sering lihat kamu di perpustakaan dengan si Anisa itu? Kenapa nggak dekat lagi? Apa udah putus? Dan, setahu saya, Dina sahabatnya Anisa. Oh jangan-jangan ...." urai Pak Emil kemudian.

"Iya Pak. Sebenarnya saya pacaran sama Anisa biar bisa dekat sama Dina. Itu pun juga susah."

Pak Emil mengangkat satu alis menatap Aril. Ia menatap Aril cukup lama sebelum berkata, "Jadi, Dina memang jadi incaran kamu selama ini?"

"Iya, Pak. Makasih banget, loh. Berkat bapak saya nggak perlu mikirin cara buat nembak Dina." Senyum tipis mengakhiri ucapan Aril.

"Dina itu ... pas saya masih kelas 1 dan jadi pengurus OSIS, saya sudah tertarik sama dia. Tapi ya itu, susah banget deketinnya. Orangnya tertutup kalau sama orang baru. Tapi setelah saya tahu kalau Dina itu sahabat baiknya Anisa. Nah, di situ saya lihat kesempatan emas. Makannya Anisa saya pacarin supaya saya bisa lebih dekat sama Dina." Lanjut Aril.

Pak Emil menggeleng. "Aril ... kamu ternyata playboy juga, ya, hehe. Tapi sudahlah, saya tidak bisa ikut campur terlalu jauh atas urusan kalian. Tapi kamu harus ingat pesan saya."

"Pesan apa, Pak?"

"Jika kamu mendapatkan cinta dengan cara menumbalkan perasaan orang lain. Maka, kamu adalah orang yang rakus akan cinta." Pak Emil diam sebentar kemudian memegang pundak Aril. "Kalau kata Jalaludin Rumi; 'Tuhan menciptakanmu dengan penuh cinta, maka, jangan jadi hambanya yang kekurangan cinta. Coba kamu ingat itu baik-baik. Saya permisi dulu." Pak Emil akhirnya berlalu.

Sementara Aril hanya bisa mematung dan berpikir keras mencerna ucapan guru sejarah barusan.

How The Love WorksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang