21. Dua Hati Yang Patah

3 1 0
                                    

Seperti hari-hari sebelumnya, saat Dina merasakan kepiluan dan kesedihan. Ia pasti akan menumpahkan rasa itu di teras depan sambil menatap bunga-bunga yang tertata. Bukan karena Dina ingin mendapat perhatian dari orang yang lewat, bukan, melainkan ini sudah menjadi kebiasaannya semenjak sang ibu meninggal akibat kecelakaan. Sejak saat itulah, teras selalu menjadi tempat favoritnya melepas kesedihan.

Seperti hari ini. Setelah ia menerima fakta bahwa selama ini niat Aril berpacaran dengan Anisa hanya untuk mendekatkan diri Aril pada Dina. Tentu saja Dina tidak bisa menerima itu. Karena sahabat baiknya---Anisa---harus menjadi tumbal dari cinta semacam ini. Dina tidak habis pikir. Orang seperti Aril, yang kelihatan sangat penyayang bisa menyakiti hati perempuan sedemikian rupa.

Apa jangan-jangan, Aril yang menjadi pelaku atas hubungannya dengan Anisa yang retak juga? pikir Dina menerawang. Tapi kenapa, Ril? Lo ... lo emang laki-laki payah. Bisa-bisanya lo permainkan hati perempuan kayak gini. Dina membenamkan kepalanya di antara lututnya.

Bip! Bip! Suara klakson mobil membuat Dina mendongkak menatap ke arah jalan. Saat itu sebuah mobil sedan putih berhent tepat di depan rumah Dina. Dari dalam mobil itu turun Syaqila dengan raut wajah gembira.

"Kakaaakkk." Syaqila berlari penuh semangat. Ia baru saja pulang les bahasa Inggris dan diantar oleh Tante Veni.

"Makasih ya, Tante," ujar Dina dengan senyum yang sedikit dipaksakan.

"Kak Dina nangis?" tanya Syaqila yang sudah berada di depan Dina. Perlahan ia menyeka air mata yang melekat di pipi Dina.

Dina menggeleng.

"Kak Dina nggak kerja?" tanya Syaqila lagi.

Memang, semenjak insiden pertengkarang Dina dan Tante Lina. Hubungan Dina dan Tantenya itu sudah semakin membaik. Tante Lina juga telah berhenti dari pekerjaan "kotor" yang ia geluti selama ini. Hal itu membuat Dina luluh sehingga ia menceritakan pekerjaannya pada Tante Lina. Dan mungkin, Tante Lina sudah menceritakan hal ini pula kepada Syaqila.

"Kakak libur. Gimana kursus Qila tadi?" Dina berupaya mengalihkan pembicaraan.

"Asik. Tadi, Qila dikasih nilai seratus oleh pak guru," kata Qila penuh senyum.

"Bagus. Adik siapa dulu ...."

"Kak Dina."

Dua kakak beradik itu tertawa bahagia.

Syaqila memang sudah seperti obat untuk hati Dina. Dan memang seperti itu, di mana orang yang kita sayang pasti bisa menjadi obat yang ampuh untuk luka hati. Walau terkadang, orang yang kita sayang itu pulalah yang menjadi dalang dari hati yang patah.

Setelah itu, Dina kemudian menyuruh Qila masuk ke dalam lalu istirahat. Dan, saat Syaqila sudah masuk ke dalam rumah. Sebuah motor yang begitu familiar di mata Dina berhenti tepat di depan rumah.

Dina menatap laki-laki yang mengendarai motor itu penuh kebencian. Ya, siapa lagi kalau bukan Aril.

Aril turun dari motor vespa hijau andalannya. Seperti biasa, kaus anime ia kenakan pada sore hari ini. Senyumnya tersungging jelas memperlihatkan kepercayaan diri.

Aril bisa tersenyum karena dua hal. Pertama, ia sudah resmi menjadi pacar Dina. Dan kedua, ia tidak tahu kalau Dina telah mengetahui kebusukannya.

Berbeda dengan Aril yang tersenyum. Dina malah menatap Aril dengan tatapan Elang yang mengincar tikus. Ya, Aril adalah tikus bengis yang ingin ia santap saat ini juga.

"Dinaaa," sapa Aril hangat.

Dina mencibikan bibir menatap Aril tajam. "Ngapain lo di sini!"

DEG.

How The Love WorksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang