22. Cokelat dan Stroberi

11 1 0
                                    

Kehidupan tidak pernah mentoleransi kesalahan. Semua kesalahan dihukum dengan penyesalan dan penderitaan. Tapi tenang saja, dibalik penderitaan dan penyesalan itu, ada pembelajaraan yang bermanfaat di hari kemudian.

Karena setiap masalah yang hadir dalam kehidupan, merupakan rentetan peristiwa yang akan menjadikan manusia tumbuh lebih kuat.

Mungkin itu yang Dina rasakan sekarang. Ia sudah terlalu sering menagis atas semua kejadian yang ia alami. Ia terlalu sering mengeluh atas semua hal yang merupakan bagian dari takdirnya. Tanpa ia sadari kalau semua itu akan menjadikannya manusia kuat di hari kemudian.

Oleh karena itu, mulai sekarang Dina tidak akan pernah menangis lagi untuk hal-hal seperti yang sudah ia lewati sebelumnya.

Dengan semangat seperti itu, Dina turun dari motor Sifa setelah sampai di rumah Anisa. Dina bertekad, hari ini akan menjadi saksi hubungan persahabatannya dengan Anisa akan kembali terjalin.

"Kamu nggak apa-apa sendirian?" tanya Sifa khawatir.

Dina mengangguk seraya tersenyum.

"Nggak apa-apa, Sif. Makasih yah, atas tumpangannya."

Sifa membalas senyuman itu lalu pergi meninggalkan Dina yang penuh dengan tekad.

Sebenarnya Dina hendak menyelesaikan semua masalahnya di sekolah. Tapi, karena Anisa tidak sekolah, Dina memutuskan untuk datang ke rumah.

"Kalau lo emang mau hubungan lo sama Anisa kembali seperti semula, maka ini adalah kesempatannya." Dina kembali mensugesti dirinya sendiri.

Ia mulai melangkahkan kakinya pelan menuju halaman rumah Anisa. Sorot matanya fokus menatap pintu kayu jati coklat di depan.

Pintu itu seolah menjadi pembatas dirinya dan Anisa.

Saat sudah sampai di depan pintu dan hendak mengentuk pintu. Tangannya yang sudah terayun seketika berhenti akibat pintu yang terbuka.

Dari balik pintu itu, muncul sosok perempuan berpakaian rapi. Perawakan perempuan itu sangat mirip dengan Anisa. Ya, dia adalah ibu dari Anisa.

Bunda menatap Dina dari ujung kepala sampai kaki. Sorot matanya yang tajam membuat nyali Dina ciut seketika. Tapi yang Bunda lakukan selanjutnya malah membuat Dina terkejut.

"Kamu darimana saja?" Pelukan hangat yang Bunda lancarkan seketika membuat hati Dina merasakan kehangatan.

Pelukan ini? Rasa hangat ini? Sensasi ini? Sudah sangat lama semenjak ibu terakhir memelukku. Dina menahan air matanya susah payah agar tidak berderai seperti sedia kala.

"Kenapa kamu sudah nggak ke sini lagi, Din?" tanya Bunda setelah melepaskan pelukan. Tangannya memegang pundak Dina erat. Kerutan di sekitar matanya nampak jelas saat ia tersenyum.

Dina tidak bisa menjawab, ia malah merunduk tanda bersalah.

"Angkat kepalamu, kamu nggak salah. Bunda yakin kamu pasti ke sini lagi." Mendengar kata-kata Bunda membuat Dina langsung mendongkak. Bunda seperti punya kekuatan spiritual karena tahu isi hatinya.

"Maafin Dina----"

"Ssshhh. Kamu nggak salah. Kamu nggak dengar apa yang Bunda bilang? Kamu nggak salah. Dalam hidup, salah paham selalu datang kapan saja, dan saat salah paham sudah datang, saat itu pulalah tidak ada yang bisa disalahkan." Sunggingan manis yang mirip seperti sunggingan Anisa terpancar jelas dari raut wajah Bunda.

Perlahan, senyum Dina mulai mekar. Anisa pasti sangat beruntung mempunyai ibu seperti ini.

"Ayok masuk. Tadi Anisa nggak sekolah karena sedikit demam. Bunda udah coba suapin dia tapi dia nggak mau makan. Mungkin sama kamu dia mau." Bunda mempersilakan Dina masuk. Kemudian ia mendaratkan kecupan hangat ke kening Dina.

How The Love WorksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang