12. Pekerjaan Tante Lina

7 2 0
                                    

Di dalam sebuah kamar yang bernuansa stroberi. Anisa membeku di dalamnya semenjak ia pulang sekolah tadi dengan perasaan nelangsa. Sekitar kamarnya yang tadi pagi rapi kini berubah menjadi seperti tempat sampah. Bantal di mana-mana, boneka berbagai bentuk dan warna berhamburan, seprei kasur yang terbengkalai di lantai dan banyak tisu yang berserakan.

Saat mengingat peristiwa tadi, pelukan yang Aril berikan untuk Dina, dan Dina terlihat nyaman saat mendekap di pelukan Aril. Anisa merasa sakit.

"Maksud kamu apa, Din? Kenapa kamu kayak gitu? Huwaaaa!!" Itu jeritan Anisa kesian kalinya sepanjang hari ini.

"Anisa, makan dulu, Nak." Dan itu adalah panggilan sang bunda untuk kesekian kalinya tapi tidak pernah Anisa indahkan.

Anisa malah terus terisak sepanjang hari, bahkan air matanya seperti sudah tidak dapat diproduksi lagi.

"Makan dulu, Nak. Nanti kamu sakit."

"Nanti aja, Bun. Anisa belum laper."

"Tapi sejak pulang sekolah kamu belum makan sama sekali. Kalau kamu nggak mau makan setidaknya izinin bunda masuk," pinta sang Ibu yang tetap bertahan di balik pintu. Tentu saja ia khawatir. Anak kesayangannya, anak tunggalnya enggan mengonsumsi makan apa pun sejak datang ke rumah sampai larut malam begini. Sebagai orang tua tentu hatinya menjadi risih.

"Nis ...." imbuh bunda memelas.

Anisa yang dari tadi kokoh bertahan di kasur akhirnya luluh juga. Ia juga sebenarnya merasa kasihan dengan sang bunda. Karena sang bunda yang berprofesi sebagai psikolog itu seharusnya telah berangkat kerja sejak pukul 4 sore tadi, namun ia harus menunda pekerjaannya karena melihat Anisa pulang ke rumah dengan raut wajah cemberut.

Anisa akhirnya melangkah mendekat ke arah pintu.

"Kenapa, Bun?" tanya Anisa cemberut.

Bunda bisa melihat dengan jelas kondisi anaknya yang berantakan. Rambut acak-acakan, mata yang bengkak dan berair serta hidung yang memerah mengindikasikan kalau anak kesayangan itu sedang tidak baik-baik saja.

"Kamu kenapa, Nis? Kok kamar sama diri kamu berantakan kayak gini," decak Bunda seraya menggeleng.

"Anisa nggak apa-apa," rengek Anisa lalu berjalan ke kasur.

Bunda mengekor dari belakang. Ia lalu duduk bergabung dengan Anisa yang juga sudah duduk di bibir ranjang.

"Kamu kenapa?" Suara lembut bunda kembali menggema di kuping Anisa. Bunda lalu memeluk anak kesayangangannya itu.

"Bundaaa," rintih Anisa akhirnya. Ia mulai terisak pelan.

"Ssshhh. Anak bunda kenapa? Cerita sama bunda. Kamu punya masalah di sekolah? Ada yang jahatin kamu? Sini peluk bunda dulu baru cerita." Sebagai seorang psikolog. Tentu bunda sangat tau cara terbaik untuk mengorek masalah sang anak.

Anisa berpikir sebentar. Ia lalu mulai menceritakan awal masalah yang ia alami. Saat ia menunggu Dina terlalu lama di kantin sehingga ia memilih menyusul ke kelas, tapi saat melewati kelas 11 Bahasa B yang juga kelasnya Aril. Ia tanpa sengaja melihat peristiwa yang sulit ia percaya; Aril berpelukan dengan Dina.

Setelah bunda mendengar semua cerita Anisa. Bunda kemudian mengulum senyum hangat, ia juga merapikan rambut Anisa yang lepek dan acak-acakan itu.

Anisa mendekap di tubuh sang bunda. Memeluknya seperti anak berusia 6 tahun.

"Jadi itu masalah kamu," ujar Bunda akhirnya.

Anisa mengangguk.

"Nis, dengerin Bunda ...." Bunda menggantung kalimatnya untuk menunggu reaksi Anisa. Namun Anisa hanya menatap sang Bunda dengan binar mata dan mimik cemberut.

How The Love WorksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang