14. Masalah

9 1 0
                                    

Waktu terasa sangat lama berputar bagi Dina. Ia seolah merasakan neraka di dunia nyata saat melalui perputaran jam pada hari ini. Bisa disimpulkan, hari ini adalah hari paling melelahkan, hari paling sial dan hari paling buruk baginya.

Sahabat, keluarga dan pendidikannya terganggu total. Akibat rentetan masalah yang ia lalui itu pulalah sehingga ia tidak bisa masuk kerja. Dina takut tidak fokus dan menambah daftar masalahnya hari ini. Ia tidak ingin dipecat. Oleh karena itu ia mengirim pesan ke ayah Aril untuk izin masuk dengan alasan tidak enak badan.

Saat itu jam sudah menunjukan pukul 5 sore. Seperti biasa ketika Dina merasakan kepiluan, ia akan duduk di depan teras rumah menatap mobil dan motor yang berlalulalang.

"Kenapa hari gue sial kayak gini," pekik Dina sambil memegang kepalanya yang terasa sakit.

Ingin sekali rasanya Dina mengakhiri semua masalah, tapi bagaimana caranya? Apa ia harus mengakhir hidupnya agar semua masalah itu tidak melekat lagi?

Nggak! Nggak! Nanti kasihan Syaqila. Pikirannya bertengkar dengan perasaan. Perlahan air matanya keluar.

"Din?" Suara panggilan seseorang tepat di depannya sehingga membuyarkan pikiran-pikiran anehnya.

Dina menatap sosok itu, ingin sekali ia tersenyum, tapi yang keluar malah tatapan sedu sedan.

"Kamu kenapa?" Sosok itu mendekat ke arah Dina.

Dina hanya menggeleng.

Sosok yang tak lain Gilang itu lalu duduk di kursi di sebelah Dina.

Gilang baru saja akan berangkat kuliah karena kelas sore. Tapi saat mengeluarkan motor dari parkiran, ia mendapati Dina tengah termenung dengan pandangan gusar. Tentu hal itu membuat dirinya menjadi gelisah, karena Dina adalah gadis pujaannya.

"Ada masalah?" Gilang coba membuat Dina berbicara namun yang ia dapat hanya gelengan kepala.

Gilang mendengkus pelan. Ia diam sebentar menatap jalan raya. Lalu ia teringat satu hal. "Ini cokelat untuk kamu," imbuh Gilang setelah mengambil cokelat itu dari dalam tas yang ia kenakan. Gilang memang menyukai cokelat, jadi, hampir setiap hari ia pergi membawa dua sampai tiga cokelat batangan. "Kata orang-orang, cokelat bisa memperbaiki mood. Mungkin kamu butuh ini. Apa lagi sebagai pecinta cokelat seperti kamu." Tambah Gilang.

Dina menoleh. Menatap cokelat batangan yang diletakan Gilang di atas meja. Ia kembali coba tersenyum namun terasa sangat sulit.

Gilang kembali membisu, ia seperti kehabisan ide untuk memekarkan senyuman manis khas milik Dina itu.

Namun tiba-tiba Dina angkat suara yang membuat Gilang gelagapan. Terbelalak.

"Kak, kalau aku meninggal, kakak sama Tante Veni tolong jagain Qila yah," lirih Dina tanpa merubah pandangan. Matanya terus menatap ke depan.

"Kamu kenapa? Kenapa kamu bicara seperti itu?" Gilang mendekat. Ia kini berlutut di depan Dina, menggamit tangannya lalu dielus telapak Dina secara peralahan.

Dina diam sebentar sebelum kembali berujar, "Nggak apa-apa, Kak. Kayaknya Dina udah nggak kuat aja hidup. Dunia Dina udah hancur, hancur lebur malah." Bibir Dina bergetar. Perlahan buliran air matanya mengalir melalui mata indahnya yang berada di balik kacamata.

"Kamu nggak boleh ngomong gitu, Din." Gilang menatap Dina dengan nanar. Ia dapat melihat mata Dina yang berkaca-kaca. "Semua manusia itu selalu punya masalah, mau statusnya apa sekalipun, pasti selalu saja ada masalah. Mau dia raja, pengusaha, atau rakyat jelata. Karena sejatinyan, masalah adalah bagian dari kehidupan. Masalah yang menjadikan manusia kuat," ujar Gilang lagi. Ia mulai menghapus air mata Dina perlahan.

How The Love WorksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang