Anisa duduk menyenderi di pojok perpustakaan. Pandangannya buram karena mata yang sembab.
Ia tidak habis pikir. Sahabatnya yang telah melalui banyak hal bersamanya melakukan hal yang paling ia tidak suka. Menusuknya dari belakang. Walau masih ada ragu dalam benaknya.
Tidak mungkin, kan, Dina melakukan hal seperti itu padanya? Tapi, kenapa dia berpelukan dengan Aril.
Anisa menimbang. Pasti ada alasan dibalik ini semua. Tapi logika dan hatinya tidak bisa diajak diskusi. Logikanya yakin kalau Dina tidak pernah berniat melakukan itu, tapi hatinya terasa sakit melihat adegan itu. Hatinya seolah berkata, "berpelukan? Dan di dalam kelas yang sepi? Ini tidak bisa di terima, Anisa."
Akibatnya, hanya air mata yang menjadi penengah antara logika dan hatinya yang berdebat sengit. Memang seperti itu fungsi air mata. Membuat perasaan lega saat ada yang menguras emosi.
"Nis," suara Aril tepat berada di belakang Anisa. Ia menepuk pelan pundak Anisa yang mebuat Anisa sedikit tersentak.
"Nis, aku bisa jelasin. Tadi nggak seperti yang kamu kira ...." Aril tidak melanjutkan kalimatnya. "Tadi saat aku ke kelas---"
"Itu yang di pojok, tolong yah. Ini perpustakaan jadi dilarang bercerita, kalau mau cerita keluar." Penjaga perpustakaan langsung menginterupsi kalimat Aril.
Anisa langsung berdiri tanpa menghiraukan Aril, bahkan menatap matanya juga tidak.
Anisa lalu berjalan cepat keluar perpus. Saat di luar, ia berpapasan dengan Dina yang datang dengan raut wajah berbeda. Namun, Anisa hanya melihat Dina sekilas kemudian berjalan cepat. Tapi dengan sigap Dina meraih tangan Anisa.
"Ini nggak seperti yang kamu pikirin, Nis."
"Cukup, Din. Aku mau nenangin diri!" Anisa bicara dengan lirih bercampur isakan kecil.
Seketika Dina langsung melepas cengkraman tangannya. Mungkin ini yang terbaik, membiarkan Anisa lebih tenang sebelum diajak bicara.
Sekarang perasaan Dina semakin kacau. Hancur lebur. Pertama ia dibuli oleh Miranda and the gang. Dan sekarang ia harus salah paham dengan sahabat baiknya. Dina berharap setelah ini tidak ada lagi masalah yang datang.
Selepas pulang sekolah Dina berjalan lunglai menuju gerbang. Pikirannya kalut masih membayangkan masalah tadi. Saat itu juga ia melihat Anisa yang sedang berdiri di depan sekolah menunggu sopir pribadinya menjemput.
Dina berusaha mendekat. Ia mendongkak lalu melembai seraya menyungingkan senyuman khas miliknya ke arah Anisa. Namun, hanya dibalas tatap nanar tanpa ekspresi oleh Anisa. Saat mobil jemputan Anisa datang, ia langsung naik tanpa menghiraukan kedatangan Dina.
"Sial! Kenapa semua jadi giniii!" umpat Dina kesal.
Dina kini berdiri di depan gerbang untuk menanti angkot. Tak berselang lama sebuah angkot mendekat, namun muncul Aril dari arah sekolah, ia langsung berhenti tepat di depan Dina.
"Ayok naik. Kita harus selesain masalah ini secepatnya."
***
"Maaf, kak. Ini uangnya," kata seorang perempuan untuk kesekian kalinya.
"Eh. I ... iya, maaf yah. Semuanya jadi 20.000 Rp," ucap Dina mencoba fokus.
Setelah perempuan pengunjung kafe itu duduk di tempatnya, Dina kembali melamun menompang dagu. Pikirannya seolah kosong, padahal di dalam kafe cukup ramai pengunjung. Hal ini terjadi karena ia terlalu memikirkan masalah tadi. Sudah jatuh tertimpa tangga. Apalagi saat ia datang ke rumah Anisa bersama Aril untuk minta maaf dan menjelaskan semua kesalahpaman. Tapi yang ia dan Aril terima dari Anisa adalah Anisa tidak mau ditemui oleh siapapun itu. Termasuk sahabat dan pacarnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
How The Love Works
Teen FictionHow the love work. Bagaimana cara cinta bekerja? Mudah saja, kadang ia memisahkan pasangan paling romantis di dunia. Kadang pula, ia menyatukan musuh dalam satu ikatan.