17. Putus

9 1 0
                                    

Anisa berjalan cepat setelah turun dari taxi. Raut wajahnya masih merah padam terbakar api amarah. Alisnya bertaut mirip serigala yang mengincar kijang, napasnya memburu akibat kesal.

Gubrak! Anisa membanting pintu rumahnya begitu keras.

"Sialan! Ini nggak bisa dibiarin. Kalau terus kayak gini, bisa-bisa gue mati!" kesal Anisa sambil terus melangkah cepat masuk ke dalam kamar.

"Non Anisa?"

"Minggir!"

Bruk!

Anisa mendorong asisten rumah tangga yang menyapanya.

ART itu itu mengaduh kesakitan tapi tidak Anisa hiraukan.

Anisa terus berjalan dan akhirnya tiba di pintu kamarnya. Tanpa pikir panjang ia langsung masuk dan menutup pintu dengan keras.

Langkahnya semakin cepat. Ia kemudian naik ke kasur lalu menekuk kepalanya di kedua lututnya dan akhirnya memekik.

"Ini udah keterlaluan. Ini bukan hubungan yang bisa dipertahankan."

***

"Kenapa sih?" Kerutan di dahi Aril nampak jelas saat bertanya demikian kepada Dina yang menariknya ke belakang.

Di belakang kafe itu merupakan tempat yang digunakan untuk memasak hidangan dan tempat menyetok persediaan bahan makanan kafe.

"Lo nggak lihat apa? Tadi saat lo ngomong kayak gitu, ada Anisa sama bundanya di meja no 14," jawab Dina ketus.

Aril sedikit terkejut. "Mana?" Ia segera berjalan lagi untuk memastikan keberadaan Anisa dan bundanya, namun orang yang dicari sudah tidak ada, mau itu bunda maupun Anisa.

Aril kembali ke belakang. "Nggak ada."

Gawat! Jangan-jangan mereka udah balik. Dina memekik dalam batin. Raut wajahnya nampak panik.

"Lo kenapa?" tanya Aril yang mengembalikan kesadaran Dina

Dina menatap tajam ke arah Aril.

"Rencana kita buat kasih suprise bisa gagal. Kayaknya Anisa makin marah setelah lihat lo ngomong kayak tadi ke gue." Suara Dina meniggi kemudian melunak di akhir.

"Kita nggak bakal dapat maaf dari dia. Kita pasti akan dibenci sama Anisa. Persahabat gue sama dia pasti bakalan hancur. Kita udah nggak ada kesempatan lagi." Dina mulai memekik. Tangisannya hampir keluar. Ia merasa masalah yang ia alami tak kunjung selesai setelah ia melihat sekilas eskpresi Anisa yang menatapnya dengan Aril penuh kebenciaan.

"Din," lirih Aril sambil menggenggam tangan Dina.

"Tenang aja, kamu nggak perlu khawatir---"

Ting! Notifikasi dan handphone milik Aril menjeda kalimatnya.

Aril membuka pesan masuk lewat WhatsApp itu. Bola matanya membulat, ia terkejut karena pesan itu berasal dari Anisa. Ada dua alasan kenapa ia terkejut, pertama, karena Anisa sudah membuka blokir dan kedua isi pesan itu sendiri.

Anisa : Kita putus. Thanks untuk semuanya. Semoga kamu bisa bahagia sama Dina.

"Kenapa, Ril?" tanya Dina setelah melihat Aril diam cukup lama menatap telepon genggamnya.

Aril menarik napas dalam kemudian ia embuskan pelan.

"Gue diputusin sama Anisa," imbuh Aril seraya memperlihatkan percakapan yang baru saja Anisa kirim.

Mata Dina membelalak tidak percaya. Bibirnya bergetar. Ia merasa sangat bersalah. Dina kemudian mendekap kepalanya di antara tangannya.

"Gu ... gue minta maaf, Ril," gumam Dina seperti berbisik.

How The Love WorksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang