Pak Emil sedang menjelaskan materi sejarah peristiwa Rengas Dengklok pada siswa IPS B. Mulai dari peristiwa penculikan Bung Karno oleh para kaula muda sampai pada perdebatan kaum tua dan kaum muda.
Semua siswa menatap serius. Kadang mereka tertawa karena selipan humor dari Pak Emil yang dikenal sebagai guru yang dekat dengan murid-murid.
Begitupun dengan Dina. Sesekali ia juga terhibur berkat candaan yang Pak Emil lontarkan.
Selain itu, Pak Emil juga guru muda yang terkanal tampan di sekolah. Usianya baru 24 tahun. Oleh karena itu ia masih begitu paham jika anak-anak muridnya mengajaknya berdiskusi tentang hal-hal yang berbau anak sekolahan seperti urusan hati anak SMA yang masih terkenal labil.
Saking dekatnya dengan Pak Emil, banyak muridnya yang terbuka untuk curhat dan minta saran kepada beliau.
Ting! Notifikasi masuk saat Dina sedang asiknya mengikuti mata pelajaran IPS Sejarah itu.
Aril: Nanti setelah pulang temenin gue ke toko buku ya.
Dina mengeja pesan dari Aril. HP-nya pun diselipkan di antara paha yang berlapis rok. Tentu saja hal ini ia lakukan agar tidak ketahuan main HP saat jam pelajaran berlangsung. Meski Dina tahu, Pak Emil bukan tipe guru killer yang menyita handphone anak muridnya kemudian membentak dengan nada tinggi. Tapi, rasa respect-nya-lah, yang membuat Dina berbuat demikian.
Bagi Dina, guru killer atau pun bukan, guru tetaplah guru yang diberi tugas mendidik anaknya murid. Dan kita sebagai murid juga harus menjalankan tugas kita sebagai penyangga masa depan bangsa. Karena itu, agar tercipta ruang pendidikan yang baik, rasa saling menghargai harus ditumbuhkan. Salah satunya dengan tidak bermain handphone saat guru menerangkan.
Oleh sebab itu Dina memutuskan hanya melihat pesan itu tanpa membalas. Ia membiarkan telepon selulernya di posis yang sama kemudian kembali fokus menatap penjelasan di depan.
Kali ini Pak Emil sudah masuk pada inti perdebatan yang dilakukan kelompok ung Karno dan kelompok Sayuti Melik. Para kaum muda berpendapat proklamasi harus dilakukan secepatnya tanpa bantuan PPKI karena PPKI adalah lembaga bentukan penjajah.
Dina kembali menyimak penjelasan yang diuatarakan Pak Emil.
Dan lagi-lagi, muncul notif baru dari nomor yang sama.
Aril: P
Aril: P
Aril: P
Aril: Din, bisa, kan, temenin gue nanti ke perpus?
Aril : Balas dong :(
Dina menatap tidak percaya pesan yang masuk secara beruntut itu. Kerutan di dahinya nampak jelas. Si Aril kenapa sih? Pengen banget ditemanin. Apa jangan-jangan dia benar-benar suka sama gue. Oh my ghost. Gimana ini.
Sudah satu minggu memang setelah Aril mendapat cidera sehingga ia sudah masuk sekolah. Mereka-Dina dan Aril-juga semakin dekat semenjak itu. Walaupun banyak nyinyiran dari anak kelas IPA. Dina sudah tidak peduli lagi, lebih tepatnya ia tidak ingin membuat hari-harinya dipenuhi penyeselan. Walau tidak bisa Dina nafikan kalau rasa itu masih bersemayam.
Dina memijit keningnya lembut. Kemudian ia meraih handphone-nya tuk membalas chat itu.
Dina : Iyaaa Aril. Nanti gue temanin, kok.
Aril : Oke sayang.
What? Dina memekik kuat. Suaranya bahkan mengalahkan suara Pak Emil yang sedang asik menjelaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
How The Love Works
Fiksi RemajaHow the love work. Bagaimana cara cinta bekerja? Mudah saja, kadang ia memisahkan pasangan paling romantis di dunia. Kadang pula, ia menyatukan musuh dalam satu ikatan.