18. Si Pangeran

9 1 0
                                    

Dina berjalan pelan menyusuri koridor sekolah setelah jam istirahat tiba. Matanya terus menatap kantin yang berada di unjung.

Sudah lewat satu hari setelah peristiwa gagalnya kejutan untuk Anisa. Namun tetap saja, Dina masih menyimpan rasa bersalah yang teramat dalam dirinya. Sehingga, rasa bersalah itu kerap mengganggu benaknya.

"Dina," panggil seseorang pada Dina.

Dina menoleh, ia mengedarkan pandangan mencari siapa yang menyebut namanya barusan. Dan saat itu juga matanya menatap Aril yang melambai ke arahnya.

Aril mendekat seraya menyeringai.

"Mau ke kantin, kan? Bareng yuk!" ajak Aril setelah berdiri di depan Dina.

Dina sedikit terkejut. Tapi ia mengiyakan ajakan Aril barusan.

Mereka kemudian berjalan santai menuju kantin. Tak butuh waktu lama, dalam beberapa tapakan saja kini mereka sudah tiba.

"Lo mau pesan apa, Din?" tanya Aril saat mereka berdiri di salah satu meja kosong.

"Gue pesan bakso aja deh," jawab Dina.

"Oh okey, tunggu di sini, biar gue yang pesan," decak Aril. Entah apa yang ada di pikirannya, ia langsung menuntun Dina duduk di bangku.

Dina melongo melihat tingkah Aril. Nih orang kenapa sih?

Setelah itu, Aril langsung meninggalkan Dina sendirian.

Dan saat Dina berada di meja itu, matanya terus menerawang mencari sosok yang tidak ia lihat sedari tadi. Ia sedikit khawatir karena sosok itu, Anisa, tidak kelihatan.

Anisa ke mana yah? Apa dia benar-benar marah dan nggak mau menampakan dirinya lagi atau bagaimana? Mau dihubungi tapi semua medos diblokir, nomor telepon juga. Haduh. Dina mengembuskan napas lelah ketika memikirkan hal itu.

"Hei," imbuh Aril membuyarkan lamunan Dina. "Mikirin apa sih?" Lanjutnya. Kemudian ia duduk seraya menaruh nampan berisi dua bakso di atas meja, tak lupa dua es manis juga ada.

"Ril, gue boleh nanya sesuatu nggak?" ungkap Dina setelah Aril duduk di depannya.

"Tanya apa? Boleh. Kayak gue ini majikan lo aja, nanya pake izin segala."

Dina mendengkus dan memutar bola matanya dengan malas.

"Lo nggak merasakan apa-apa setelah diputusin Anisa?"

Aril yang mau menyuapi sesendok kuah bakso ke mulutnya sendiri lantas menunda. Ia berpikir sebentar untuk memberikan jawaban terbaik.

"Padahal lo sama Anisa kelihatan cocok, dan gue sering lihat postingan kalian di ig maupun di medsos lainnya. Ya walaupun lo nggak pernah menampakan hubungan lo saat di sekolah. Tapi setelah putus, lo kelihatan baik-baik saja, bahkan lo bisa ngajak gue nonton bareng Syaqila. Apa lo nggak ngerasa kehilangan?" Belum sempat Aril menjawab pertanyaan yang dikeluarkan oleh Dina. Dina malah menambah satu pertanyaan lagi.

Aril kini meletakan sendok berisi kuah bakso itu kembali ke mangkok setelah mendengar pertanyaan Dina. Ia menarik napas dalam kemudian diembuskan pelan. Ia lalu berujar, "Dalam hubungan, rintangan selalu siap menghadang. Entah itu pertengkaran, perbedaan pendapat, salah paham, ngambek, marahan atau apa pun itu. Itu semua bagian dari hadangan yang dimaksud. Dan cara terbaik menghadapi hadangan seperti itu adalah menghadapinya dengan kepala dingin, dengan tenang dan diskusi dari hati-hati. Tapi, yang sekarang gue sama Anisa alami malah sebaliknya. Anisa menghadapi masalah dengan emosi. Dan lo tahu sendiri, kan? Emosi kalau sudah lepas kendali, semua dengan mudah diputuskan, termasuk hubungan ...."

Dina mendengarkan penjelasan Aril sambil menyesap es teh manis. Sesekali ia mengangguk dan kadang ia memicikan mata tanda tidak mengerti.

" ... Jadi, dalam suatu hubungan, jika ada satu pihak yang gagal mengendalikan emosi dan mengambil keputusan sepihak. Maka selayaknya hubungan itu bukan hubungan yang bisa dipertahankan. Itu menurut gue." Aril mengakhiri kalimatnya dengan sesuap bakso bulat ke dalam mulutnya.

How The Love WorksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang