Deva mengunyah roti selai pagi ini di meja makan. Belum habis gigitan pertama suara heboh susul menyusul membuatnya memutar bola mata. Siapa lagi, mereka dua orang dewasa itu tidak pernah tidak sibuk.
"Ohh, masalah proyek di Papua? Aman pak. Saya jamin saham kita bakalan naik drastis." Belum sempat suara satu diam, suara yang lain menyusul dengan mulus.
"Kasus bapak saya yakin bakalan menang. Bapak aman kalo saya pengacaranya. Hahaha, bapak bisa saja."
Deva menggeram, selera sarapan pagi dengan selai cokelatnya harus hilang karena orangtuanya. Tidak bisakah mereka diam barang sejenak saja, ini tempat makan. Bukan kantor.
Deva kembali melanjutkan sarapan rotinya. Nada dering handphone namanya kembali terdengar. "Halo? Ah itu, ibuk tenang saja, hak asuh anak ibuk pasti jatuh ke ibuk. Kita bakalan menangin kasus ini."
Lalu dering handphone papanya terdengar kembali. "Halo? Iya, masalah yang mana? Oh di Kalimantan. Tenang orang-orang saya akan mengurus----"
Brakkk!!!
"Ini meja makan! Bukan kantor! Kalian bisa tidak membedakannya!!"
Deva berseru marah, ia menatapnya nyalang kedua orangtuanya.Perlahan tangan mama papanya yang memegang handphone menurun dan mematikan panggilan.
"Deva kamu ini---"
"Apa!!" Potong Deva cepat.
"Terserah, Deva capek lihat kelakuan kalian!" Cewek itu mengambil tasnya, lalu berlari kecil untuk langsung berangkat sekolah.
Di halaman rumahnya Deva menghela nafas berat melihat pak Rahmat, satpam rumahnya berlari kecil ke arahnya. "Mobilnya mau dikeluarin neng?"
Deva mengangkat kelima jarinya tanda menolak. "Bapak pernah lihat saya nyentuh tu mobil? Nggak kan? Jadi stop nanya masalah yang nggak penting."
"Oh, oke, maaf ya Neng."
Deva diam, mengambil sepeda lipatnya yang terparkir di dekat mobil-mobil milik papanya. Itulah Deva, dibalik semua kekayaan seorang direktur utama perusahaan batubara. Dan mama yang pengacara kondang, Deva memilih hidup jauh dari kemewahan yang kedua orangtuanya berikan.
SMA S BIRU, begitulah tulisan besar di atas pagar hitam sekolahnya. Sekolah yang tiga tahun ini menjadi saksi bisu baik buruk nilainya.
Deva memarkirkan sepedanya di parkiran khusus para pengendara sepeda. Hanya sedikit, bisa dihitung oleh jari. Mungkin sekitar 5 sepeda. Ayolah!! Ini sekolah elit, para siswa memilih mengendarai motor dan mobil.
Huh! Bahkan Deva enek melihat tampang sok kaya dari semua murid di sini.
Dengan langkah lebarnya, Deva menyusuri lorong kelas 12 yang rame pagi ini. Apalagi kalo bukan melihat dirinya. Jangan salah sangka, mereka tidak melihat Deva. Melainkan, melihat cowok yang berjalan datar di sampingnya.
Begitulah setiap hari hampir tiga tahun ini. Aksa, cowok itu akan menunggunya di parkiran. Lalu ketika Deva sudah berjalan, cowok itu akan berjalan pula di samping Deva.
inilah yang membuat semua orang percaya kalo mereka pacaran. Bahkan julukan untuk mereka sudah di lakoni. Pasangan dingin begitulah rumor yang beredar tentang mereka.
Jangan kalian harapkan sapaan ramah dan obrolan romantis sepanjang jalan menuju kelas. Tidak!! Itu tidak berlaku untuk Deva dan Aksa. Mereka hanya diam, menatap datar dan mata yang tajam.
Di kelas pun seperti itu, Deva duduk di belakang dan Aksa di depan. You know lah, cowok pintar tembusan beasiswa seperti Aksa selalu duduk di depan tiga tahun berturut-turut.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSA [ON GOING]
Teen Fiction~Pacaran 3 tahun terus putus memanglah epic. Tapi pernah nggak sih lo! pacaran tiga tahun tapi nggak pernah kenalan, padahal satu kelas~ ini lah cerita Adeva, tentang hubungannya dengan teman sekelasnya. mereka tidak pernah kenalan dengan embel-embe...