EPISODE 25 - Ungkapan Sayang

844 83 0
                                    

Berjalan di atas aspal pinggir jalan, seorang diri, tanpa ada siapa pun, bagi Carisa ini hal yang biasa. Terlebih lagi air matanya masih enggan berhenti mengalir. Carisa masih saja tak mau menghentikan kesedihan karena kepatahan hatinya. Ia terus saja melangkah sendiri tanpa menghiraukan siapa pun.

Kakinya mengarah seolah sempoyongan. Padahal kondisinya masih normal. Baru saja setelah meninggalkan Hazmi di kedai, Carisa nyaris ingin menikmati kemabukannya kembali. Namun beruntung saja ia lekas menyadarkan diri, bila ia menghabiskan waktunya untuk bermabuk, bukan berarti masalah akan selesai.

Namun kali ini ia memilih berjalan sendiri dan sengaja meninggalkan kendaraan yang biasa ia pakai di kedai. Pikirannya ingin sekali tenang. Mencoba meluangkan waktu untuk meluapkan emosinya sendiri. Entah mengapa Carisa merasa bodoh keterlaluan mencintai seseorang yang bahkan—ia saja belum tentu bisa mendapatkannya.

Bila mengingat tempo kemarin bersama Hazmi, Carisa sangat senang memikirkan segala hal tentang lelaki kesayangannya itu. Namun apa daya jika ia saja tak mampu mengubah takdir. Semesta saja tak mengatakan akhir kisah asmaranya bersama Hazmi.

"Ini mungkin, karena kamunya yang terlalu perasa, Car. Kamu terlalu terbawa perasaan setiap kali Hazmi di dekatmu. Nih, tisu?" ucap seorang lelaki yang kini sengaja menyamai langkah Carisa. Ia menyodorkan selembar tisu setelah perempuan malang itu tampak menghentikan langkah.

Carisa sontak menoleh ke asal pemilik suara yang mendekatinya. Ia tetap bergeming setelah mengetahui siapa lelaki tersebut, tisu yang berada di tangan lelaki itu saja masih tak diambilnya. "Kak, Raf-li?" ucapnya terbata-bata.

Tampak jelas ketika pelupuk netranya menggenangkan air mata. Carisa hanya mampu kembali menyingkap tangis di hadapan Rafli. Sampai kini pun ia tak kuat meratapi kesedihan hatinya.

"Car, please ... jangan nangis lagi. Aku nggak suka, lihat kamu nangis gitu. Nih, tisu?" Rafli tetap menyodorkan selembar tisu yang masih berada di genggamannya pada Carisa.

"Aku butuh sandaran, Kak. Apa Kak Rafli mau, menenangkanku?" Suara itu spontan membuat Rafli terkesima. Ia masih tak menyangka mendengar kalimat yang baru Carisa ungkap.

"M-maksudnya?

"Kalau boleh, aku cuma ingin menyandar di bahu Kak Rafli. Sejenak membuatku tenang dari kesedihanku." Carisa kembali menjelaskan.

"Oh, maaf, Car? Bukannya aku nggak bersedia menolongmu. Aku udah berbuat kesalahan kesekian kalinya, hanya karena aku dekat dengan perempuan yang bukan menjadi mahramku. Aku ..."

"Jadi kedekatanku bersama Kak Rafli itu adalah kesalahan? Berarti Kak Rafli nggak suka, kalau dekat-dekat sama aku?"

"Nggak, nggak gitu maksudnya, Car. Begini maksudku, aku cuma mau kita jaga jarak. Kita boleh berteman, tapi dengan catatan tidak ada kontak fisik. Ya?"

"Kenapa? Karena aku bukan mahram Kak Rafli?"

"Ya, seperti itu alasannya, Car. Maaf, kalau semisalnya kamu tersinggung?"

Derap kaki Carisa akhirnya kembali tertarik hingga menjatuhkan duduknya di salah satu bangku pinggir trotoar. Sembari ia menengadahkan pandangannya lekat ke atas langit. Ekor matanya mengarah ke bintang-bintang yang bersinar terang di malam itu. Perlahan bibir Carisa tersenyum, ia berusaha enggan menguakkan tangis lagi.

Rafli yang melihat perempuan tersebut tersenyum, ia merasa lega. Dan kini, ia ikut mendaratkan duduknya ke sisi Carisa. Rafli sengaja memberi jarak yang cukup untuk duduk di bangku itu.

"Bintang-bintang saja senang ngelihat kamu tersenyum gitu. Nggak sedih lagi. Kata bintang, Carisa terlihat manis sewaktu senyum." Rafli kembali bersuara. Sementara Carisa terlihat geli mendengar perkataan lelaki itu. Kini Carisa sejenak menyingkap tawanya usai Rafli berkata.

Enigmasif [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang