Pulang Bareng (1)

380 51 3
                                    

Ayo nikung, ngapain juga harus takut.

-Devano Matteo Adhitama-

Bel berdering sejak lima menit yang lalu. Tapi disebuah kelas, tepatnya dikelas X MIPA 2 masih terlihat empat orang penghuninya. Vani, Adel, Keysa dan Rafa. Mereka masih berada dikelas karena sedang mengerjakan sesuatu, tepatnya hanya Vani yang sedang sibuk. Yang lainnya hanya berniat menunggui Vani.

"Kurang berapa lembar lagi Van?" tanya Keysa sembari melirik jam tangannya, "gue, udah ditungguin sopir gue soalnya."

"Tinggal satu halaman. Kira-kira lima menit lagi kelar. Lo, kalau mau pulang, pulang aja Key," ujar Vani sembari masih sibuk menulis diatas buku catatannya.

"Serius, lo gak papa. Cuma berdua sama Rafa?" tanya Adel sembari menatap lekat kearah Vani. Vani hanya menganggukan kepalanya sekali dengan mantap.

"Ya udah, gue sama Adel duluan ya. Bye Van."

"Bye bye Vani."

"Hmm."

Sepeninggalnya Adel dan Keysa, Vani langsung melanjutkan aktifitasnya. Rafa yang sedari tadi hanya diam bermain game, kini melirik ke arah Vani yang berada disamping kirinya.

"Lagian lo, telat masuk tadi. Kata Keysa, lo cuma pamit beli minuman. Kenapa setengah jam, baru balik?" tanya Rafa memulai obrolan dengan Vani.

"Ketemu cowok brengsek," ujar Vani masih dengan mencatat materi.

"Siapa?"

Vani langung menghentikan kegiatan menulisnya. Kemudian menolehkan kepalanya ke arah Rafa.

"Sejak kapan, lo kepo sama gue?" tanya Vani sembari mengangkat sebelah alisnya ke atas.

"Ya gue cuma tanya aja sih. Santai aja kali. Hahaha," jawab Rafa dengan diakhiri kekehannya.

Vani tak menjawab, kini dia malah mendekatkan kepalanya ke arah Rafa. Rafa yang melihat Vani semakin dekat dengannya, berusaha untuk menghindari tatapan dari Vani.

"L-lo, lo kenapa dekat-dekat gue?" tanya Rafa masih berusaha menghindari tatapannya Vani.

"Lo ganteng, kalau ketawa kayak tadi," balas Vani, kemudian menarik kepalanya dan melanjutkan kegiatan menulisnya lagi.

Deg.

Rafa terlihat shock, dengan perkataan Vani. Bagaimana tidak, Vani berkata dengan serius tadi, tanpa ada unsur bercandanya. Sesungguhnya Rafa suka dengan Vani, secara Vani adalah cewek yang engak mau ribet. Dan itu tipe cewek buat Rafa.

"Tapi, gue gak suka sama elo. Dan gak akan pernah suka sama cowok."

Bagaikan kiamat datang, perkataan Vani, sukses menghancurkan khayalannya yang bahkan belum dimulai. Begitulah yang sedang Rafa rasakan.

"Kenapa, tadi lo gugup," tanya Vani yang tidak menoleh ke arah Rafa, "Jangan bilang, lo suka sama gue."

Rafa berdeham untuk mengembalikan suaranya lagi. Membenarkan duduknya, kemudian menghadap ke arah Vani. Vani yang merasa sedang diperhtikan, memilih untuk menoleh ke arah Rafa.

"Gue gak tahu. Hmm, lo emang tipe gue. Tapi gue belum rasain suka sama lo," terang Rafa.

"Bagus, kalau gitu."

"Kok bagus?"

"Gue males, kalau berurusan sama perasaan. Ribet," jawab Vani. Kemudian Vani memasukkan buku catatanya kedalam tas. "Gue pulang."

Vani beranjak dari tempat duduknya. Rafa yang tersedar segera menyusul Vani.

"Gue temenin sampai pintu gerbang."

Tawaran dari Rafa, hanya dibalas dengan dehaman oleh Vani.

"Siapa cowok yang lo anggap brengsek?"

"Siapa lagi, kalau bukan itu orang satu."

Rafa hanya mengagukan kepalanya. Tanpa bertanya lagi, Rafa sudah tahu siapa yang dimaksud oleh Vani.

'Apa bedanya, lo sama dia, yang tadi lo bilang gue ganteng?'-- tanya Rafa dalam hati.

"Gue gak gombalin elo. Gue cuma ngomong sesuai fakta," kata Vani datar.

Rafa tambah shock, sebab tanpa bicarapun Vani tahu apa yang sedang dia pikirkan.

"Lo, bisa baca pik-"

"Nggak. Sana lo pergi," usir Vani kemudian melangkahkan kakinya kearah pintu gerbang.

Sedangkan Rafa baru tersadar, mereka sudah sampai dilapangan. Kemudian Rafa berjalan kearah yang berlawanan dengan Vani.

Vani baru saja mendudukan dirinya dibangku, tiba-tiba handphonenya berdering. Dengan segera Vani mengangkat telponnya. Ternyata dari sopir rumahnya.

"Halo non, sebelumnya maaf. Ini, ban mobil malah bocor. Jadi saya sedikit terlambat, jemput non Pitainya."

"Gak papa kang. Pita bisa naik taxi aja. Nanti kalau sudah, kang Ujang, langsung pulang aja."

"Tapi non, nanti saya dimarahin sama tuan-"

"Nanti, biar Pita yang ngomong sama papa."

"Ya sudah. saya tutup telponnya ya non. Hati-hati dijalan."

"Iya kang."

Tut! Tut! Tut

Telpon dimatikan secara sepihak. Kemudian Vani memasukan handphonenya ke dalam tas. Kini dia berharap, semoga saja ada taxi yang melintas didepannya. Saat Vani sedang asik melamun, sebuah suara motor mendekatinya.

"Lho Vani kok masih ada di sini. katanya dijemput sama sopir. Mana sopir lo?"

Vani mengangkat kepalanya, ternyata yang bertanya kepadanya adalah Rafa. Kemudian Vani berdiri, saat melihat sebuah taxi dari kejauhan.

"Sopir gue bilang, kalau ban mobilnya bocor. Jadi gue baru mau pulang sekarang."

"Lo pulang naik apa?" tanya Rafa saat melihat Vani berjalan mendekatinya, ralat mendekati tepian jalan maksudnya.

Vani hanya menunjukan sebuah taxi yang mendekat ke arahnya, dengan dagunya. Rafa kemudian memutar kepalanya, melihat sebuah taxi yang akan melintas disampingnya.

Vani akan mengangkat sebelah tangannya. Berniat menghentikan taxi agar berhenti didepannya. Tapi pergerakannya kalah cepat dengan Rafa. Rafa segera menyambar tangan Vani, dan di genggamnya dengan erat.

"Maksud lo apa-apaan sih!" teriak Vani karena Rafa berhasil membiarkan taxi tersebut melewati mereka begitu saja.

"Gue bakal anter lo pulang."

Vani menghempaskan cengkeramnya Rafa, "Gue gak mau repoti lo."

"Gue gak merasa direpoti sama lo. Gue malah seneng bisa pulang bareng sama lo. Sekarang ayo naik."

Dengan malas, Vani berjalan kearah belakang motor. Saat Vani mengangkat sebelah kakinya, berniat akan manaiki motor, seseorang menahan tangannya kemudian tangan Vani ditarik kearah belakang dengan sangat keras.

Vani yang tak siap dengan tarikan tersebut, akhirnya dia kehilangan keseimbangan tubuhnya. Vani pasrah saat dia yakin, dirinya akan jatuh kejalan. Tapi tak berapa lama, Vani merasa, ada sebuah tangan yang menahan tubuhnya. Vani melirik bahu sebelah kirinya. Disanalah, bertengger sebuah tangan berotot yang berhasil menahan tubuh Vani agar tidak jatuh.

"Gue udah peringatin lo. Buat jauh-jauh dari dia, kan?" bisikan itu masuk lewat telinga sebelah kanannya Vani.

Vani shock, dia tahu siapa yang sedang berdiri dibelakangnya. Tanpa melihat orang itupun Vani tahu. Karena aroma parfum yang dipakai orang itu, yang akhir-alhir ini, selalu hadir di indera penciumannya.



I Love You My Pawang [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang