Maaf (2)

289 38 62
                                    



Bertepatan dengan itu pula, tubuh Vani terdorong ke belakang. Kedua matanya terpejam erat. Tak merasakan sakit ditubuhnya, padahal Vani yakin jika dirinya hampir saja tertabrak truk. Masih dengan mata tertutup, Vani merasakan detak jantung yang berdetak dengan sangat cepat tepat didepan wajahnya. Disusul dengan napas yang memburu, yang Vani rasakan diceruk leher kanannya. Dengan perlahan, Vani membuka matanya. Gelap, hanya gelap yang Vani lihat saat pertama kali membuka mata.

Hingga dorongan lembut menjauhkan dirinya dari kegelapan, dan pada akhirnya Vani bisa melihat. Satu yang Vani pikirkan saat melihat sesuatu yang ada didepan matanya, sebuah dada bidang. Dengan perlahan Vani mengangkat kepalanya, ingin mengetahui siapa pemilik dada bidang tersebut.

DEG.

Mata hitam pekat itu, hanya satu orang yang memilikinya. Vani terbuai oleh tatapan mata hitam itu. Mata hitam itu memancarkan kekhawatiran. Dan entah mengapa, Vani lega bisa melihat kekhawatiran dari mata hitam itu.

"L-lo nggak papa Van?" napas Vano tak beratur karena habis berlari menyelamatkan Vani. "Ada yang sakit nggak?"

Vani masih diam saja, sepertinya masih terbuai oleh tatapan khawatir mata hitam milik Vano dan mungkin juga masih sedikit shock.

"Jangan bikin gue tambah khawatir, Van. Ada yang sakit nggak," tanya Vano sekali lagi.

Akibat Vano, perhatian Vani kembali lagi. Mengerjapkan beberapa kali matanya untuk menyadarkan diri sendiri. Vani melirik jalan raya, ditengah jalan raya itu, berhenti sebuah truk yang hampir menabrak Vani. Kemudian Vani melirik lagi kearah Vano. Masih dengan wajah khawatirnya, Vano dengan setia masih memeluk Vani, meskipun tidak terlalu erat.

"G-gue ng-nggak papa," balas Vani terbata.

Vano menghela napasnya dengan lega, kemudian menarik lembut tubuh kecil Vani kedekapannya lagi. Menyakinkan dirinya, bahwa Vani benar-benar selamat akibat dirinya. "Syukurlah. Gue udah khawatir banget sama elo."


"Gu nggak papa," balas Vani.

Sediki lama mereka dalam posisi tersebut. Sampai tak menyadari jika truk sudah pergi. Tapi beberapa pasang mata masih tertuju ke arah mereka berdua berada. Vani yang pertama menyadarinya, segera berusaha melepaskan dirinya dari dekapan hangat milik Vano. Tapi sepertinya Vano masih nyaman jika seperti ini, memeluk erat tubuh kecilnya Vani.

"Vano, malu dilihatin orang," ujar Vani lembut.

Vano sedikit terkejut, saat mendengar Vani berbicara tak ketus lagi kepadanya. Dengan berat hati, Vano melepaskan tangannya dari tubuh Vani.

"Lo, udah nggak marah lagi sama gue?" tanya Vano sembari menatap kedua mata coklat milik Vani.

"Jangan disini," bisik Vani.

Dengan segera Vano menarik pergelangan tangan kanannya Vani, tak menghiraukan tatapan dari semua orang yang tertuju kepadanya. Kemudian membawa Vani masuk kedalam area sekolah lagi. Hingga akhirnya, sampailah mereka berdua diparkiran sekolah.

"Ayo naik," ucap Vano setelah berhasil menaiki sepeda motornya.

"Mau kemana?" tanya Vani dengan alis terangkat.

"Mau minta maaf. Ayo!"

Dengan pasrah, Vani menuruti perintahnya Vano. Naik ke atas pedal dengan bantuan tangan kanannya Vano. Setelah itu, Vano menancapkan gasnya. Pergi meninggalkan sekolah dan beberapa tatapan heran dari orang-orang sekitar.

I Love You My Pawang [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang