"Dari kecil sampe segede ini lu masih dipertemuin sama dia? Fix jodoh,"
Kulihat Axel dengan tatapan tak suka. Bisikannya sukses membuat otakku berlari lari tak ingin memikirkan hal tersebut.
"Lu sengaja yah nerima tawaran kerjasama biar bisa kelahi terus sama gue?" tanyaku dengan nada meninggi. Walaupun pertanyaanku akan mengundang tatapan tajam darinya aku tak peduli. Sepertinya memang dia sengaja membuat hari-hariku menjadi buruk.
Alden nampak bergidik ngeri kemudian satu kata yang keluar dari mulutnya sukses menikam empeduku.
"Najis!"
Eh bangke! Nih anak dari dulu mulutnya ga bisa difilter apa? Minta ditabok woyyy... Ini pasti waktu kecil keselek cabe sebaskom nih mangkanya kata-katanya pedas sekale.
"Dari dulu sampe segede ini mulut lu ga bisa digulain yeh? Perasaan pedas mulu. Ga punya gula buat manisin omongan lu yeh?" sindirku sambil menujuk nujuk wajahnya menggunakan jariku.
"Ga peduli," ujarnya kemudian melenggang masuk kedalam kantor yang lebih mirip sebuah rumah.
"Lah si akang." Aku melongo kemudian mengikutinya. "Asal lu tau yeh, kalau gue tau lu si sarden yg dulu itu mana mau gue kerjasama sama elu. Suer amit-amit gue jadi parner lu. Kata-katanya udah pedas, ga pernah peduli sama orang lain, ngeselin tingkat dewa. Sama nih wajah. Sok dingin tau gak? Wajah lu tuh kek fucek boy. FUCEKKK! FUCEKKKK BOYYYYYY!"
Krikkk krikkk krikkk
Anggaplah ada jangkrik lewat. Semua orang didalam kantor ini menatapku yang tengah memberikan jari tengah sambil memasang kuda-kuda pada Alden siap untuk berkelahi.
"Ini yang ngeselin si Alden apa si Juleha sih?" ringis Eka sambil menepuk jidatnya.
"Gila!"
Kalau bisa dibilang tulangku serasa patah. Okey, hati kecilku tertawa hambar. Ini baru permulaan. Tenan, kalem. Aku kembali berdiri anggun kemudian mengibaskan rambutku kebelakang. "Dasar tukang ngupil!"
Kata-kata pelan itu berhasil aku keluarkan. Alden yang mendengarnya lantas langsung menatapku tajam. Hahaha, mampusss. Skakmat.
Tiba-tiba dia berbalik kearahku sambil memasang wajah dingin plus plusnya. Halah, pikir aku takut? Wajah kek gini lebih mirip om-om genit bangke!
"Apa?" tantangku dengan mata yang melotot.
Okey, aksi perang matapun terjadi. Aku terus memasang wajah garang sambil melotot. Namun dia hanya memasang wajah dinginnya sambil menatap mataku dalam. Adegan baper say goodbye dulu.
"Eh, ini partner kerja kita yah?"
Tanya seseorang memecahkan suasana membuat perang mata ini berakhir. Aku dan Alden langsung menatap dingin sang penanya.
"Awalnya sih iya, tapi keknya gue mau ngundurin diri deh. Males kerja sama dia," ujarku membuat Eka dan Axel melotot tak terima kearahku.
Hemm. Mereka pasti bakal marah nih. Iya pasti. Udah sejauh ini dan aku malah memutuskan kontraknya. Itu kan aku egois. Iya aku tau aku egois. Tapi gimana lagi, suer nih sarden itu ngeselin banget dari kecil. Cuman dia doang yang selalu bikin gue naik darah. Kalian kalau ada di posisi aku juga ga akan kerjasama sama dia. Orangnya ngeselin tingkat dewa. Ga tau sih udah gede gini dia berubah atau ga. Tapi percayalah dia tetap ngeselin dimataku.
"Lah kok gitu sih jul? Udah jauh-jauh kesini loh," ujar Eka tak terima setelah menarikku mendekat padanya dan Axel.
"Masa cuman gegara partner lu si Alden lu jadi mutusin kontrak gini sih. Ga profesional dong jul." tambah Axel.
Aku bisa melihat raut kekesalan diwajah dua orang ini.
"Mau gimana lagi. Kalian tau sendiri kan di SMA dia itu ngeselin bat kalau sama gue, ga mau gue kerjasama sama dia." ujarku masih tetap menolak.
"Iya tau. Tapi itu kan dulu jul. Siapa tau sekarang dia udah beda. Dia juga komikus terkenal tuh ga mungkin lah bakal main-main atau bikin lu naik darah terus. Dia juga punya kesibukan kali,"
Aku memandang Axel. Ya lelaki itu memang benar. Tapi tetap aja, masa sama sarden lagi.
"Jangan egois dong jul. Lagian selama ketemu dia akhir-akhir ini dia ga semenjengkelkan waktu dulu. Emang sih mulutnya masih tetap pedas. Tapi dia sekarang udah lebih dewasa tau ga. Dan dia juga pasti ga ada waktu buat nangepin elu. Terbukti kan dari tadi bukan dia yang ngeselin tapi elu. Elu yang banyak bicara plus ngeselin tau gak,"
Okey kata-kata Eka sukses menyayat hatiku. Ada sedikit ah, banyak sindiran didalam kalimat itu. Jadi, harus yah aku kembali menerima kerjasama ini? Tapi kalau dia ngeselin lagi gimana? Tapi kalau aku nolak kasian juga si Eka sama Axel yang udah jauh-jauh bantuin aku. Sama satu, kalau aku nolak sama aja aku nolak kesempatan berharga dihidup aku. Jadi aku harus gimana dong? :(:)
"Gimana? Jadi kerjasama sama kami?" tanya seseorang yang tadi menyanyaiku itu. Aku melihat kearah Alden. Pria itu masih terus menatapku dengan dingin. Uhhhh, kek gini aja aku kek mau rabek mukanya. Aaaaaaa,
Tenang Jule. Mari buat keputusan.
Kutarik napasku dalam mencoba menenangkan pikiran.
"Iya. iya deh." ujarku pasrah membuat Eka dan Axel bernapas lega.
"Tapi ingat yah nih orang pokoknya jangan sampai dekat-dekat sama gue! Nanti gue punya penyakit darah tinggi lagi." ujarku menujuk Alden membuat beberapa stafnya melotot kaget dengan aksiku.
Anak om muklis itu hanya memutar bola mata mengejek. Nih, smirk nya ngejek sekaleehhhh. Pengen aku tampol pake sandal bakugan.
"Komikus jadi-jadian kok gayanya selangit,"
Mataku membulat sempurna. Kutarik napas panjang. What the hell? Ingin sekali kugampar mulut pedasnya itu. Nah kan belum mulai kerja aja kata-katanya udah gitu. Sikapnya udah gitu? Gimana aku ga tahan oy?
Aku melihat Eka dan Axel dengan tatapan sendu ingin menyerah. Help meee.....
"Sabarrr,"
***
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
PARTNERSHIT, I Love You!✔️
HumorCuman kisah ringan tentang seorang komikus dadakan dan partnershit-nya. Yang penasaran, cuss dibaca:) PARTNERSHIT, I LOVE YOU! by Febrianty Maria