Usaha untuk membirukan senja bukanlah perkara mudah. Kita yang pernah terlibat dalam perkara pertukaran senyum dan bahagia kini harus memaksakan diri untuk berpura-pura kuat menahan sakit. Ini bukan lagi tentang ego yang bertahan untuk menghindar dari kesalahan, tapi ambisi memaksakan semesta agar takdir turut serta dalam menyatukan kembali perihal perasaaan yang sempat tertunda.
Jika nantinya akhir dari penantian dan penyesalanku bukanlah bahagia, tidak ada salahnya untuk aku terus menanam harap bukan?
Sebelum kehilangan, aku dan kamu terlibat pada alasan untuk saling ditemukan, kemudian perlahan dengan lembutnya waktu datang mengingatkanmu pada sebuat kata lupa. Lupa tentangku.
Pada sebuah kesakitan yang telah kamu rasakan, aku tidak ingin menitipkan kenangan. Kehampaan akan sebuah kepergian memberikan pengajaran bahwa yang ingin ku rangkai denganmu kembali adalah harapan yang kelak tidak hanya sebatas ucapan melainkan pengakuan sebuah perasaan.
_______________________________________________
Langit semakin gelap sebagai tanda bermulanya pertukaran hari. Gejolak berbagai macam perasaan menguras energi yang cukup banyak sepanjang hari. Penantianku tidak hanya berakhir kembalinya Eve, tetapi begitu banyak pertanyaan akan ingatannya menjadi beban pikiran kepadaku.
"Lu udah nyampe mana bambang? Lama banget kayak ratu Inggris aja lu." Pesan singkat ku kirimkan kepada Didit sebagai bentuk protes karena kehadirannya yang terlambat dari janji temu.
"Sabar, gue udah mau naik lift. Bawel banget kayak nyonya mau belanja." Balasan pesan dari Didit ku hiraukan setelah membacanya hanya dari pop-up layar yang muncul.
Aku membuka kulkas dan mengambil sebotol minuman berukuran 1.5 liter dengan merk Coca-cola dan beberapa bungkus cemilan lalu membawanya kembali ke ruang tamu. Di saat yang bersamaan, bunyi bel pertanda Didit sudah sampe terdengar.
"Bentar, gue lagi ribet." Teriakku dari dalam unit walaupun aku tau Didit tidak mungkin mendengarnya. Kembali, bunti bel terdengar berulang kali seperti orang yang sedang terburu-buru.
Aku dengan rasa kesal membuka pintu dan memberikan ekspresi menyebalkan kepada Didit yang cengir tanpa dosa.
"Lu gak ngerti konsep sabar apa Dit?" Omelku dengan langsung membalikkan badan kembali ke ruang tamu setelah pintu terbuka.
"Elu yang bawel, giliran udah nyampe malah lama bukanya." Tanpa rasa bersalah, Didit langsung mendarat badannya ke sofa dan membuka sebungkus cemilan Lay's tanpa aba-aba dariku.
"Eh, lu nyosor aja kayak rumah nenek."
"Lah, lu kan emang nenek, bawelnya sama."
"Anjir. Ngomong di filter napa?"
"Gue bukan IG, pake filter."
"Kampret emang kalau gundam dikasi nyawa gini."
"Tae."
Aku menuangkan Coca-cola dari botol yang ada di meja kedalam gelas dan menatap layar televisi yang saat ini menayangkan acara talk show di salah satu stasiun televisi dengan jargon andalan sebagai televisi masa kini.
"Lu kenapa manggil gue ke sini bre?"
"Gue mau ngomong."
"Emang dari tadi lu ngapain? Bersenandung?"
"Bukan gitu malih. Maksud gue, mau ngomong serius."
"Hm, kenapa?"
"Gue ketemu Eve."
"Terus?"
"Terus? Lu bilang terus?"
"Lu mau gue jawab apa? Ribet ah lu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekali Lagi, Tinggallah! (Completed)
Любовные романыTuhan Maha Baik. Pada setiap kesalahanku, IA menitipkan malaikat sepertimu. Untuk memaafkannya.