38 (END)

3.7K 177 28
                                    

Awalnya, kehadiranmu hanya aku anggap sebagai apa yang mampu membunuh sepi. Tapi, cinta yang kau berikan jauh dari kata pura-pura. Seharusnya, aku yang bersalah pada pertemuan yang telah menyakitimu lebih dari kesakitan yang pernah kau terima. Aku telah rasakan berbagai percakapan yang betul-betul tidak ku inginkan namun tidak bisa aku menolaknya tanpa alasan. Percakapan mengenai kamu. Percakapan mengenai bodohnya aku. Percakapan mengenai aku-lah pemberi rasa sakitmu.

Jika saat ini kamu bersamaku dengan meninggalkan semua perlakuanku yang pernah mengabaikanmu, maka itu adalah keputusan hatimu. Bukan pilihan.  Jikalau nanti ada penyesalan yang harus kamu rasakan, itu adalah penyesalanku. Melepas bahagia yang sebenarnya utuh, untukku.

Jika harus memilih mati rasa atau tuli, mungkin aku tidak akan memilih keduanya. Aku lebih memilih diberikan kesempatan kedua untuk menyadari segalanya lebih awal. Menyadari bahwa perasaanku ini harus terhalang saat perempuan itu datang. Menyadari bahwa selama aku berpencar sejauh kapal pesiar berlayar, ternyata dia yang terdekat yang mampu menenggelamkan kelabu pada dua puluh empat jamku setiap minggu. Anggap ini salah satu kebodohanku.

.......................................................................................................................

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram yang artinya (bebas dari segala yang menyusahkan). Seribu emosi tentang bahagia terakumulasi dari senyumku yang tidak lepas darinya setelah ucapan lantang namun ku tunggu dari Eve di kamar mandi tadi.

Dengan diiringi alunan melodi musik yang disediakan oleh restoran tempat kami menginap, mataku tidak pernah lepas dari riweuhnya Eve mengatur menu yang akan kami santap, menanyakan segala kebutuhannya kepada petugas yang bertugas dan merapikan sesekali rambutnya yang tergerai indah.

"Ih senyum mulu, kayak orang gila." 

"Siapa yang gak kayak orang gila kalau dilamar di kamar mandi coba." 

Kami sama-sama tersenyum, ku ulurkan tanganku dan mengelus jarinya yang ada di atas meja. Tidak ada perasaan senyaman dan setenang ini. Tidak ada lagi ketakutan akan kehilangan dan kesepian yang tidak hari semakin menjadi momok. Aku jatuh cinta semakin hebat kepada perempuan yang hatinya seluas lautan. Di tiap sisi kehidupan selanjutnya, tidak ada yang ku inginkan selain bahagia selalu di sisinya.

"Seandainya aku tau kalau sama kamu, aku bisa rasain kebahagiaan kayak gini, mungkin dulu aku gak biarin kamu sayang sama aku sendiri kali yah?" Aku menatap mata Eve dengan rasa penuh penyesalan. Dia hanya tersenyum tipis, sambil merunduk menatap ke arah meja.

"Masalahnya gini Al, kalau aku gak pergi, kamu emang bakal nyari? Nggak kan?"

"Ih, kata siapa? Tetap nyarilah, walaupun kamu ada, yah aku tetap nyari, nyari ke kantor kek, kemana kek. Pokoknya aku nyari."

"Halah, hoax!"  Perkataan Eve membuatku cemberut karena ia tau sikap yang aku perlihatkan tidak pernah menunjukkan bagaimana aku mencintainya begitu dalam. Setelah hidangan makan malam telah datang, kami hanya menyantapnya dengan penuh keheningan. 

Beberapa waktu berjalan begitu saja sampai makanan yang ada di piring kami telah habis yang disusul dengan dering telfon dari Eve berbunyi.

"Halo."

"Kok bisa?"

"Ya udah, tolong diurus segera yah. Makasih."

Raut wajah yang langsung berubah dari Eve berpengaruh terhadap ekspresi ku juga yang menjadi panik. 

"Kenapa?"

"Besok pagi kita balik yah? Gak papa kan?"

"Yah gak papa, tapi kenapa?"

Sekali Lagi, Tinggallah! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang