Lima

4.7K 284 6
                                    

Assalamu'alaikum

Next lagi ya

Votenya dong

📌Happy Reading 📌

Aku duduk di sebuah kursi panjang yang terletak di tengah taman. Gus Nizam duduk di sampingku dengan jarak dua meter. Ia mengajakku kemari. Memang ini tempat yang sangat ramai pengunjung agar tidak terjadi fitnah.

Aku menatap tanah. Setiap kali menunduk air mataku pasti jatuh tanpa diminta.

"Apa yang membuatmu menangis?"

Aku melihatnya sekilas lalu kembali menatap tanah.

"Denis mutusin aku," ucapku. Ia malah tertawa. Adakah yang lucu dengan perkataan ku barusan? Kurasa tidak ada.

"Bagus," ucapnya.

"Gus senang aku diputusin? Ko, bilang bagus."

"Hubungan kamu itu salah. Cowok kamu itu juga ngajak gak bener," ucapnya. "Laki-laki sejati itu mengajak kepada kebaikan. Kalo emang dia sayang sama kamu pasti dia bakal minta kamu sama orang tua."

"Emangnya Gus berani ngajak serius?"

Dia hanya diam. Dasar ya orang lagi sedih ko ini bahagia. Ini namanya bahagia diatas penderitaan orang. Kalo gak lagi sedih gini pengen aku cakar tuh muka so-Ganteng nya itu. Iya sih, dia emang tampan. Tapi tidak saat ini.

"Nisa!"

Aku menoleh ke sumber suara. Kudapati Hasna berjalan kemari sambil ngos-ngosan.

"Astaghfirullah, kamu bikin aku khawatir aja."

"Maaf," ucapku.

"Saya permisi," ucap Gus Nizam. Baru beberapa langkah ia sudah berbalik lagi.

"Oh, ya, kertas origami yang saya kasih sama kamu, masih kamu simpen?" tanya Gus Nizam.

Aku mengangguk. Iya, kertas berbentuk hati itu masih aku simpan.

"Bagus. Itu baru awal dari saya," ucapnya kemudian pergi.

Awal? Maksudnya awal apa?

Sepertinya Hasna curiga dengan perkataan Gus Nizam tadi. Semoga saja dia tidak menanyakannya.

"Yuk, pulang," ajakku pada Hasna.

"Kamu ada hutang sama aku," ujar Hasna dengan wajah seperti menyelidik.

"Hutang apa? Aku gak minjem uang sama kamu."

"Halah, alasan. Aku tunggu penjelasannya," ucap Hasna kemudian berjalan mendahului ku.

Ini tuh gara-gara si Gus itu. Coba aja kalo dia enggak ngomong soal itu pasti aku aman.

••••

Sehabis isya aku mampir ke Ndalem bersama Amel untuk menyeduh Mie. Sebenarnya aku sedikit malas untuk ke sini karena bisa-bisa aku bertemu si Gus.

Ngomong-ngomong, Gus Nizam kemana ya. Aku belum melihatnya dari tadi. Ada dua hal yang aku suka dari dia. Senyumnya dan saat dia menyebut namaku.

Sudut bibirku tertarik ketika mengingatnya. Tak sadar aku sudah mengaguminya. Hanya mengagumi. Tidak lebih.

"Teh Nisa, itu airnya jangan terlalu banyak atuh. Gak bakalan enak," ucap Amel.

"Ekh, yah." Aku menatap mangkuk Mie yang aku pegang air nya sangat banyak pasti bumbunya gak bakalan kerasa.

Sepertinya malam ini aku harus puasa.

••••

Gus Nizam POV

Aku menghampiri Umi yang sedang memasak di dapur. Umi adalah tempat ku untuk aku bercerita setelah Rabbku.

"Umi lagi apa?" tanyaku. Bodoh jika aku menanyakan hal itu karena aku tahu Umi sedang memasak.

"Lagi masak."

"Abi enak, ya tiap hari ada yang masakin," ucapku. Umi menatapku. Sepertinya Umi merasa aneh dengan perkataan ku.

"Ini kan kewajiban Umi sebagai seorang istri. Nanti kamu juga bakal ngerasain kaya Abi," ucap Umi sambil membalikan masakannya.

"Kapan, Mi?"

"Ya, kalo udah nikah punya istri," jawab Umi.

"Nizam kapan nikahnya, Mi?"

Umi menatapku dengan tatapan menyelidik. Ini aku masih basa-basi udah kaya gini, gimana mau pro ngomong sama Umi.

"Ko, nanya Umi."

"Kalo Nizam nikah, boleh gak, Mi?"

"Ya, boleh," jawab Umi masih santai.

"Kalo nikah muda, boleh gak, Mi?"

Sepertinya Umi sedikit kesal dengan aku yang banyak bertanya. Umi tak menjawab.

"Jawab dong, Mi. Nizam butuh kepastian," ucapku.

"Kamu ini kenapa sih. Tiba-tiba ngomongin nikah," ucap Umi sedikit kesal.

"Jawab aja, boleh apa enggak."

"Boleh."

Asyik, nih. Dapat lampu ijo dari Umi.

"Kalo nikah sekarang boleh gak, Mi?"

Tuk!

"Aduh, ko, dipukul sih." Aku mengusap jidatku yang Umi dengan centong.

"Siang-siang gini malah ngawur," ujar Umi kesal. Baru kali ini aku membuat Umi kesal secara sengaja.

"Ya, kan, Nizam cuma nanya."

"Dikira nikah itu gampang. Kaya udah punya calon aja."

"Ada, ko," ucapku.

"Santri?" tanya Umi mulai serius.

"Iya."

"Disini?"

"Iya."

"Perempuan?"

"Ya, iyalah, Umi. Masa laki emang Nizam cowok apaan."

"Umi kenal gak sama dia?"

Aduh, ko rasanya panas dingin, ya.

"Iya."

"Halah, palingan juga kamu habis ngelindur," ucap Umi. "Emang ada yang mau sama kamu? Udah jail kucel lagi. Palingan juga orang kepepet yang mau sama kamu."

Ekh, ko Umi ngomongnya nusuk banget ya. Masa anak tampan gini dibilang kucel. Astagfirullah...

Bersambung...

Makasih buat yang udah baca

Jangan jadi sider ya hargai yang nulis

Vote juga ya karena itu gratis gak bakalan lima menit ko

See you next part 👋😊




CINTANYA GUS DINGIN [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang