Tiga

5.1K 296 7
                                    

Assalamu'alaikum

Next ya 😊

Selamat membaca📖

📌📌

Cuaca hari ini sangatlah panas. Aku, Amel, dan Hasna berniat pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan. Sebelum itu, kita harus izin dulu ke petugas piket.

"Assalamu'alaikum," ucap kami bertiga.

"Wa'alaikumsalam," ucap Umi. "Ada apa?"

"Kita mau izin sama petugas piket buat keluar bentar, mau ke pasar, Umi," ucap Hasna.

"Baik, nanti Umi beritahu yang piket hari ini."

"Iya, Umi. Umi mau nitip?" tanya Hasna.

"Tidak. Sebentar Umi tanya Gus dulu siapa tahu dia mau nitip." Umi pergi ke dalam.

Gerah sekali rasanya. Aku mengibaskan tanganku di depan wajah.

"Aku tunggu di luar, ya," ucapku. Hasna dan Amel mengangguk.

Aku duduk di kursi depan Ndalem memperhatikan santri yang berlalu lalang. Ada anak kecil yang sepertinya seumuran dengan Ade, keponakanku. Mendadak aku jadi kangen rumah.

"Sudah sehat?" siapa tuh yang nanya.

Aku mendongak. Ternyata Gus Nizam yang nanya. Oh, ayolah kenapa aku harus bertemu dengannya. Malas sekali melihat wajah tanpa dosanya.

"Alhamdulillah," ucapku tanpa melihat si pembicara.

"Bagus," ucapnya.

Hanya itu? Tidak adakah niatan dia untuk meminta maaf?

"Gak mau minta maaf?" tanyaku sebelum dia masuk.

"Untuk apa?"

"Waktu saya manjat pagar Gus narik sandal saya sampe saya jatuh tangan saya ada yang lecet. Gus gak mau minta maaf," ujarku. Dia hanya ber 'oh' saja.

Aku menatap dia yang menatap fokus ke dalam Ndalem. Dia mau masuk ke dalam namun aku hentikan.

"Gus," ucapku.

"Kamu lupa, saya juga yang nolongin kamu pas kamu kekunci di toilet, kamu gak mau bilang makasih sama saya?" Pintar sekali dia memutar balikan perkataan ku.

"Saya udah bilang, Gus aja yang gak denger," ucapku tidak mau kalah.

"Oh, ya?" Dia menatapku dengan tatapan yang... Menurutku itu menakutkan. Matanya menatapku tajam. Aku menunduk, namun dia malah terkekeh.

Dia mau menakutiku?

•••

"Mel, beli minum lagi, yuk," ajak ku pada Amel. Aku sudah menghabiskan dua botol air mineral dan satu bungkus es cendol. Sudah kubilang kan, hari ini sangat panas.

"Ari teteh teh meni kawas buyur, Kana cai wae, ikh," ucap Amel dengan bahasanya yang sedikit aku mengerti.

"Ayo, Mel," aku menarik tangan Amel ke penjual es Cendol.

"Mang, es nya yang banyak, ya," ucapku.

"Siap, Neng," kata si Mamang es cendol.

Aku meneguk es cendol itu hingga tersisa setengah.

"Kita ke toko buku dulu, ya," ucap Hasna.

"Mau beli apa?"

"Umi nitip pesanan Gus Nizam, kertas warna," jelas Hasna.

Aku terkekeh mendengar Gus menitip Kertas warna. "Kaya anak TK aja."

•••

Hasna menyuruhku untuk ke Ndalem memberikan kertas warna ini. Dia yang dititipi, aku yang harus ngasih. Semoga aja si Gus itu engga ada di Ndalem.

"Assalamu'alaikum." Aku masuk lewat pintu dapur yang biasa para santri piket masuk.

Sepi sekali hanya ada dua santri putri yang sedang memasak mie.

"Kalian lihat Umi?" tanyaku pada mereka.

"Umi keluar sama Pak Kiyai," ucapnya.

"Aku titip ini, ya. Kamu kasihkan sama Gus."

Mereka saling pandang. Seperti sedang kebingungan.

"Maaf, kamu aja yang kasih, kita gak berani."

Heh, masa gak berani Gus'kan juga manusia.

Aku menatap kertas warna ditanganku. Ini harus aku yang ngasih? Aku menaruh kertas warna itu di dekat galon air. Mungkin nanti Umi kesini, pikirku.

Saat aku berbalik untuk keluar Gus Nizam memanggilku.

"Kamu." Heh, aku juga punya nama kali.

Aku pura-pura tidak mendengar saja dia juga tidak menyebutkan namaku.

"Nisa." Oh, ya Allah, kenapa lembut sekali suaranya saat menyebut namaku.

"Saya?" Aku menunjuk diriku memastikan apakah dia benar-benar memanggilku. "Itu kertas warnanya saya taruh dekat galon air."

Ia mengambilnya dan membuka bungkusnya mengeluarkan kertas berwarna merah muda.

"Tunggu sebentar," ucapnya.

Aku memperhatikan dia dari pintu dapur. Ia mendekat ke arahku dengan menyisakan jarak sekitar satu meter.

"Nih." Dia memberikan kertas warna merah muda berbentuk hati kepadaku. Apa-apaan ini dikira aku anak TK dikasih beginian.

"Gus kira saya anak TK dikasih beginian?"

"Kamu tahu itu bentuknya apa?" tanya Gus Nizam.

"Hati," jawabku.

Dia tersenyum. Senyum yang indah yang pernah kulihat darinya. Siapapun pasti bakalan terpesona dengan senyumannya.

"Jaga baik-baik," ujarnya setelah itu dia berbalik dan masuk ke ruang tengah. Meninggalkan ku yang masih bingung dengan kertas warna berbentuk hati ini.

"Jaga baik-baik?" Aku mengulangi perkataanya tadi. Maksudnya apa?

Atau jangan-jangan dia menyuruhku menjaga hatinya? Benarkah? Jika benar apa yang harus kulakukan.

"Aaaa..." Teriak ku. Aku langsung menutup mulutku sambil merutuki kebodohanku. Bodoh sekali aku mempermalukan diri sendiri.

"Ma, ada yang bikin Nisa baper. Tapi bukan Denis."

Bersambung....

Masih mau lanjut?

Kritik dan saran sangat dibutuhkan.
Maaf kalo banyak typo ya😁

Jangan lupa Vote 🌟 sama komen juga boleh😊

See you next part 👋

CINTANYA GUS DINGIN [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang