Hari masih sangat pagi, bahkan matahari pun belum memancarkan sinar panasnya. Udara masih sejuk terasa, namun suasana di lapangan sekolah saat ini sedang tidak baik-baik saja. Memang bukan hal baru lagi, hampir setiap pagi selalu saja ada keributan yang dilakukan oleh orang-orang itu. Orang-orang yang selalu bertindak semaunya terhadap kaum-kaum lemah.
Di tengah lapangan sana, seorang siswa tengah menjadi bahan olokan dan tontonan gratis bagi orang-orang yang berdiri menyaksikan di pinggir lapangan. Mereka hanya bisa menyaksikan tanpa bisa melakukan apa pun. Tidak ada yang mau melerai. Tidak ada yang berani membela.
“Mereka lagi,” ucap Nizar yang berdiri di antara orang-orang yang berkerumun di pinggir lapang.
“Emang gak ada abisnya. Tiap hari pasti ada aja korbannya,” sahut Ega yang berdiri di sampingnya.
“Kita gak bisa terus-terusan diam aja kayak gini! Mau sampai kapan? Kalau dibiarin, mereka bakal semakin semena-mena!” ujar Direy geram.
Mereka bertiga adalah orang-orang yang sempat menjadi korban atas penindasan yang dilakukan oleh Vian dan para pengikutnya. Hampir setiap hari ketiganya selalu menjadi sasaran orang-orang itu. Setidaknya sampai seseorang muncul menyelamatkan mereka dari kehidupan sekolah yang kelam.
“Tapi kita bisa apa, Rey? Dari dulu kita gak pernah bisa ngelawan balik. Kita terlalu takut untuk membela diri,” gumam Ega menatap cowok di tengah lapangan itu dengan nanar. Kecewa pada dirinya sendiri yang tidak berani bertindak untuk membela.
Kelima orang itu tertawa puas dengan perbuatan mereka. Satu ember air kotor bekas pel mereka siram ke tubuh cowok yang terduduk di lantai lapangan dengan tak berdaya. Semua orang yang melihat kejadian itu hanya bisa diam tanpa mau terlibat.
SMA Semesta Jaya atau sering disebut SMA Senja—Semesta nan Jaya—adalah sekolah yang cukup terkenal karena sering melahirkan generasi-generasi yang cerdas. Banyak alumni SMA Senja yang sukses berkarir dan diterima oleh Universitas tinggi mana pun di seluruh Indonesia bahkan sampai ke Universitas luar negara.
Namun, di satu sisi terdapat bagian gelap yang menjadi racun bagi sebagian murid di sekolah. Selain orang-orang berprestasi, SMA Senja juga mempunyai murid-murid berandalan di dalamnya. Tidak ada yang bisa dilakukan, termasuk para guru. Hal itu terjadi karena satu alasan, yaitu KEKUASAAN.
“Ren,” panggil Nizar ketika satu temannya yang lain baru saja terlihat.
Cowok itu, berjalan santai dengan jaket hitamnya, tas punggung yang tersampir di sebelah bahunya, serta earphone menyumpal kedua lubang telinganya. Dengan wajah dinginnya ia menoleh sekilas menatap Nizar yang memanggil namanya, akan tetapi kakinya tetap melangkah, tak acuh dengan orang-orang yang tengah meramaikan pinggiran lapang. Cowok itu sudah bisa menduga apa yang tengah terjadi karena kejadian seperti itu sudah seperti rutinitas yang selalu terjadi hampir setiap hari.
“Ren, kita masih bakal tetep diem aja?” kata Direy sukses menghentikan langkah kaki Rendra. Meski telinganya tersumpal earphone, ia masih mampu mendengar suara dari luar. “Kita gak bisa terus-menerus ngebiarin ini terjadi!” sambungnya.
Rendra memutar tubuhnya ke belakang menghadap teman-temannya. Menatap mereka satu per satu, matanya melirik ke arah lapangan di mana kelima orang itu masih tertawa puas karena asyik bermain dengan korban mereka.
“Kita harus lakuin sesuatu untuk ngilangin penindasan dari mereka!“ ujar Direy lagi. “Dan kami gak tahu harus berbuat apa tanpa lo.”
Rendra kembali menatap sahabatnya itu. “Gue... Kita... Udah ada perjanjian sama mereka. Gue gak mau berurusan lagi sama orang-orang itu.” Memutar kepalanya kembali menatap ke arah lapangan, Rendra melanjutkan, “Lagian udah ada orang yang ngurus.”
KAMU SEDANG MEMBACA
BOY OF WINTER [END] - REVISI
Teen FictionTAMAT - Tahap REVISI... Jadi sorry kalau masih ada beberapa typo di dalamnya 🤙🏻 BOY OF WINTER (Judul awal The Coldest Boy) Genre: slice of life, drama, persahabatan "Sendiri itu kenyamanan... Dan Hening itu kedamaian." ~ Rendra Al Bahira. *** Blur...