20

398 43 2
                                    

   Ya, aku menghitungnya dengan baik. Ini sudah satu bulan. Dan Ibu mertuaku sama sekali tak menyerahkan surat penceraian itu. Bahkan, besok aku mulai kembali bekerja. Tapi, bisakah aku menjalani kehidupanku yang sekarang tanpa adanya campur tangan dari sosok istriku sendiri?

   Aku tak bisa di gantung seperti ini. Rasanya dadaku sesak sekali akhir-akhir ini. Aku butuh dia, tapi aku tak bisa melakukan apa-apa. Hidupku terasa kosong, seperti tak punya arah dan tujuan untuk melanjutkan kehidupanku yang pahit ini.

  Aku bangun dari ranjangku, melangkah gontai seperti orang gila ke arah dapur. Bukan hanya kamar, seluruh isi apartemen ini seperti sudah tak layak untuk di huni. Semuanya berantakan akibat ulah dari ketololan dan kebodohanku sendiri. Aku frustasi. Aku sudah bilang beberapa kali, aku hanya membutuhkannya saat ini!

   Aku mengambil pisau daging yang tertancap di tempatnya. Aku tersenyum sendu, bukankah dulu istriku melakukan percobaan bunuh diri dengan pisau ini karena diriku? Lalu, apa aku juga bisa melakukan ini sepertinya?

   Ya. Aku harus membayar semua kesalahanku sendiri pada istriku, dengan tiga kali menusuk perutku, seperti apa yang telah dilakukan istriku dulu. Lagi-lagi aku tersenyum sendu, melihat pisau ini, malah mengingatkanku padanya. Apa aku harus?

   Tentu, untuk apa aku hidup? Jika aku tak bisa lagi hidup bersamanya. Lebih baik aku mati, bukan?

   "Kau tahu, sayang? Kakak memang pengecut. Bajingan. Tak bermoral. Dan, aku sadar, kau pasti tak ingin lagi memiliki seorang suami yang buruk seperti aku, kan? Kau pasti sangat membenciku, kan?" Tanpa aku sadari, aku mengeluarkan air mataku sendiri, "asal kau tahu, kakak menyesal. Sejujurnya, kakak ingin selalu bersamamu."

   "Dan kakak juga sudah bersumpah, akan membayar semua kesakitanmu dengan ini ... Kakak akan mengakhiri semuanya. Mengakhiri kehidupanku, mengakhiri ikatan kita berdua. Aku mohon, jangan pernah mengingat pria buruk sepertiku lagi, ya sayang?"

   Lantas, aku mengarahkan pisau itu tepat di perutku. Namun, ketika aku hendak menekan pisau itu. Tiba-tiba sebuah pelukan yang selalu aku rindukan setiap malam itu, terasa begitu nyata melingkar di perutku. Ah, apa aku sudah mati? Padahal aku sama sekali belum menekan pisaunya.

   "Kakak ... Jangan, hiks—"

   Prangg!!! Pisaunya terjatuh.

   "Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku, kak!"

   Suara itu ...

   "Aku sayang Kak Yoongi!"












   Terasa nyata.




















   Apa aku sudah berada di surga?

our marriage ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang