Kotak Makan Biru Tua

16.1K 257 3
                                    

Tiga hari setelah acara gratis makan malam itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengan pak David di rumah sakit maupun dimanapun. Karna sift kerja kita yang berbeda apalagi dengan profesiku sebagai dokter kandungan yang harus siap setiap saat kapanpun aku dibutuhkan.
Meskipun aku yang seharusnya libur, tidak dapat menutup kemungkinan bahwa aku akan mendapat panggilan darurat dari pihak rumah sakit.

Itu semua bisa saja terjadi, bahkan bukan hanya untuk dokter kandungan sepertiku.
Bisa jadi juga dokter bedah seperti pak David pun dibutuhkan meski dikala dirinya sedang berlibur sekalipun.
Karna pada hakekatnya, berprofesi sebagai seorang dokter bukan hanya untuk menyembuhkan namun juga mengurangi segala kemungkinan terjadinya kejadian yang lebih fatal atau lebih tepatnya untuk mencegah adanya hal yang lebih buruk lagi untuk para pasiennya.

Dan kini, datanglah hari yang aku tunggu tunggu. Yaitu hari dimana aku masuk praktek pagi yang itu berarti aku bisa bertemu dengan pak David.

Aku tidak ingin ini semua terjadi.
Aku mencoba untuk memendam sebuah rasa yang belum pernah ada di hatiku. Aku juga mencoba untuk melupakannya.
Tapi sayangnya itu semua seakan sangat berat bagiku. Aku merasa semakin bertambahnya hari aku semakin mengaguminya dengan segala pesonanya secara natural dan tidak dibuat buat sama sekali. Aku semakin menaruh rasa padanya dan aku semakin terus memikirkannya bila aku tidak bertemu dengannya di setiap hariku meski itu hanya sekali.
Aku ingin mencoba untuk menjauhinya, tapi hati kecilku terus tergerak ingin selalu melihatnya dan tebar pesona di hadapannya.
Otakku menolak untuk melakukan ini semua, namun hatiku terus mendorong diriku agar lebih masuk di dalamnya.

Aku yang belum menggunakan jas kebesaranku sebagai seorang dokter berjalan bak super model yang sedang catwalk menggunakan mini dress berbahan burkat dengan lengan tanggung dan panjang dress tepat di atas lututku. Dilengkapi dengan sepatu Vans berwarna hitam bertali putih yang semakin melengkapi penampilanku dan jangan lupakan make up tipisku yang selalu menjadi andalanku setiap mendekati seorang pria yang sedang aku incar.

Aku terus berjalan lurus ke suatu ruangan yang menjadi tujuan utama ku di pagi hari ini. Bukan ruanganku tentunya, ya kemana lagi kalau bukan ke ruangan pak David si dokter bedah berparas tampan yang kini telah mengukir dengan jelas namanya di hati dan pikiranku disetiap waktu.

Senyuman manis nan indah yang bisa membuat diabetes ku pasang baik baik di wajah cantikku.
Aku pandangi terus kotak berwarna biru tua yang sedang aku pegangi sedari tadi sejak aku pertama keluar dari apartemen.

Kira kira apa yang akan dikatakan oleh pak David tentang masakanku ini, batinku bertanya pada diri sendiri.

Masakanmu sangat enak Melliza.. atau..

Ini pertama kalinya saya merasakan masakan seenak ini, kamu sangat pandai memasak dr. Melliza.

Segala bayangan manis telah menghampiri imajinasi konyolku. Berharap akan ada seutas senyum manis yang membuat diriku semangat di pagi hari ini.

Melliza: "Aku terus membayangkan senyumannya itu, aku sangat berharap dia bisa tersenyum tulus padaku" gumamku pada diriku sendiri.

"Ellizaaaaaa..." suara lantang melintang yang sudah pasti adalah milik seseorang yang sesuai dengan dugaanku.

Bisa aku tebak siapa pemilik suara yang sedang memanggilku ini, suara yang bahkan bisa membangunkan para mayat di kamar jenazah.

Aku pun berhenti berjalan karna panggilannya, dan perlahan membalikkan badanku untuk melihat ke arah sumber suara itu.

Marsya: "Elliza. Kamu sudah mulai pikun atau sedang salah jalan?" kalimat pertamanya langsung menyapa.

Marsya: "Bisa bisanya berjalan sampai disini" tanyanya yang sudah berdiri di hadapan ku kali ini.

Dr. ClaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang