"Mazaya." Panggil Papa Adi.
"Sayang." Panggi Mama Ina lirih, ia sudah menangis.
Mazaya semakin mempercepat larinya, kebetulan ada ojek yang lewat. Mazaya langsung teriak memangil ojek itu. Ojek itu pun berhenti tak jauh dari rumahnya.
"Taman Pak," ucap Mazaya yang diangguki tukang ojek tersebut.
Dalam perjalanan menuju taman, air matanya tak berhenti terjun bebas. Sesekali ia menyekanya. Namun, tetap saja air matanya mengalir deras.
Mazaya sudah sampai di taman. Lalu, ia duduk di kursi taman. Cahaya remang-remang menerangi.
Sakit, sesak, perih, semua bercampur menjadi satu dengan kekecewaan. Kesedihannya semakin bertambah, derita yang ia rasakan semakin membuat ia ingin terjatuh dalam lobang pasrah. Ingin rasanya ia menyerah pada hidup.
Orang tua yang ia harapkan suatu saat akan mengerti kesedihan juga kesepian yang ia rasakan, kini sirna dengan tamparan yang keras. Orang tua yang ia harapkan suatu saat menyadari kesalahan mereka hingga membuat ia menjadi seperti itu. Orang tua yang ia harapkan suatu saat akan berubah menjadi orang tua yang ia harapkan kini hanya sebuah pengharapan yang berujung menyakitkan.
Mazaya seakan berlari mengelilingi kota sangking sesaknya yang ia rasakan di dada. Jantungnya berdetak lebih cepat karena gejolak kekecewaannya semakin bergemuruh. Rintihan hatinya ingin segera lepas dari penat yang ia rasakan karena menahan begitu lama mulai terdengar, hatinya berkata, kapan ini akan berakhir dengan bahagia.
Mazaya meratapi hidupnya yang didera derita dan dikelilingi sepi. Mengapa hidupnya begitu buruk, bukan buruk, tapi lebih dari itu.
"Kalian jahat, jahattt," ujar Mazaya.
Air matanya seperti air terjun yang tak berhenti mengalir ke bawah. Matanya memerah dan mulai membengkak begitu juga rasa sakit yang ia rasakan seakan semakin ia rasakan semakin membengkak.
Ucapan Pak Rehan teriang-iang di telinganya.
"Allah itu Maha Adil, hanya saja makhluknya lupa untuk bersyukur."
Mazaya terus mengingat ucapan dosennya itu.
"Apa aku kurang bersyukur?"
"Apa aku lupa untuk bersyukur?"
"Apa aku memang tidak bersyukur?"
Mazaya memikirkan semuanya.
"Selama ini bahkan aku telah kuat menyembunyikan duka sendirian, hiks hiks."
"Selama ini bahkan hamba tak pernah menanyakannya kepada Engkau, kenapa memberikan kehidupan seperti ini pada hamba Ya Rabb, hiks hiks."
"Selama ini aku ikhlas menjalani hidup yang Engkau berikan tapii," ucap Mazaya berhenti.
Mazaya memejamkan matanya sejenak, berharap sesak di dadanya akan hilang, tapi itu tak berhasil. Ia berharap ini adalah mimpi, tapi sangat jelas bahwa ini adalah kenyataan. Dan tamparan itu sangat jelas ia rasakan.
"Tapi, kenapa harus begini, Ya Rabb."
"Hamba meminta hiks hiks hamba berdoa untuk kebaikan orang tua hamba tapi hiks hiks."
"Tapi, ini yang terjadi."
"Sakittt, sesakk hiks hiks."
Mazaya menatap bulan yang sendirian tanpa ditemani para gemintang.
"Bulan, beginikah rasanya sendirian?"
"Seperti inikah yang kamu rasakan saat ini?"
"Semesta begitu luas, tapi tak seorang pun enggan ada di sisimu sama seperti aku hiks hiks."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenapa Pergi? (SELESAI)
Romance[Romance~Comedy) Cerita SELESAI. ------------------------------------------- "Jadi, saya harus ngerjain apa Pak untuk menembus kesalahan saya?" Mazaya tetap tersenyum Awas aja kalau kali ini salah lagi, batin Mazaya. "Kamu mau sogok saya," ucap Pak...