43| Mazaya

740 49 0
                                    

Gelap bahkan sangat-sangat gelap

Apa kah aku sudah di dimensi lain? Mengapa sangat sunyi. Cukuplah di dunia aku kesepian, jangan di dimensi lain, batin Mazaya.

Mazaya duduk. Matanya mengedar ke segala penjuru tempat. Pandangannya masih belum jelas. Ia memandang masih kabur-kabur. Kepalanya terasa sakit dan ia sulit untuk berekspresi dikarenakan pipinya yang perih. Semakin lama memandang, semakin membuat ia kebingungan.

Di mana aku, kenapa gelap, batin Mazaya.

Ceklek

Mazaya menutup matanya kala cahaya terang menusuk matanya tiba-tiba.

"Akhirnya kamu sadar juga," ujar seseorang dengan sura khas seorang pria.

Mazaya langsung memandang ke sumber suara dan ia menemukan seorang pria tampan sedang berjalan mendekat padanya. Otaknya berpikir mengingat-ingat siapa orang itu.

"Ka..kak," ucap Mazaya meyakinkan dirinya sendiri.

"Iya, ini saya Rana," ujar Rana Putra, seniornya di kampus. Walau fakultas mereka berbeda, tapi Rana Putra sangat dikenal hampir seluruh kampus karena kepintarannya.

"Ke..napa," ucap Mazaya bingung.

"Kamu pingsan di taman," potong Rana.

"Pingsan?"

"Iya, pingsan."

"Aku belum mati," ucap Mazaya pada dirinya sendiri, tapi masih bisa didengar oleh Rana.

"Kamu terlalu jauh berpikir," ujar Rana menggelengkan kepala.

"Kamu makan dulu, tubuh kamu butuh energi, saya menemukan kamu sudah terkapar malam itu di taman dan kamu baru sadar malam ini, lama juga," ucap Rana sambil memberikan semangkok bubur pada Mazaya.

Mazaya menatap Rana heran. Selama itukah ia pingsan, begitulah pemikiran Mazaya.

"Kamu makan dulu, nanti baru bertanya," ujar Rana.

Mazaya mengangguk, lalu di ambilnya mangkok tersebut. Mazaya memakannya dengan susah payah karena pipinya yang lebam dan sangat sakit, membuka mulut untuk memasukan suapan pun susah. Benar kata Rana, ia butuh energi terbukti dari lahapnya Mazaya makan walau kesusahan membuka mulut.

"Pipi kamu masih sakit?" tanya Rana duduk di ranjang yang sama dengan Mazaya, tapi ada jarak. Mazaya mengangguk lalu menyuapi dirinya lagi.

Mazaya pun selesai makan, ia letakkan mangkok tersebut di atas nakas samping ranjang. Ekspresinya datar karena memang sulit untuk berekspresi.

"Makasih Kak," ujar Mazaya sambil menatap Rana yang mengangguk.

Mereka diam untuk sesaat, tak ada yang ingin mulai bertanya atau pun menjelaskan. Mazaya pun bingung harus mengatakan apa.

"Kamu ada masalah?" tanya Rana tiba-tiba.

Mazaya bingung harus menjawab apa, akankah ia harus mengatakan yang sebenarnya pada Rana, tapi ia tak begitu mengenal Rana. Setelah Mazaya pikir-pikir mungkin lebih baik mengatakan yang sebenarnya, Rana juga sudah menolongnya. Mazaya pun mengangguk.

"Kamu bisa cerita ke saya jika kamu ingin," ujar Rana lagi yang diangguki Mazaya.

"Saya kabur dari rumah," ucap Mazaya. Rana masih menunggu penjelasan selanjutnya dari wanita di hadapannya itu.

Mazaya memejamkan matanya, rasa sakit kembali menembus hatinya. Mazaya menghela napasnya panjang. Ia membuka matanya yang sudah membendung air mata, tak ingin ia menangis lagi.

Kenapa Pergi? (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang