Candala 20

1.5K 119 25
                                    

"Kamu jangan khawatir. Kakak akan bertanggung jawab. Kakak akan jaga kamu. Sepulang dari Singapura, kakak akan bawa kamu dari rumah Mario".

Marissa terngiang kata-kata Miko kala itu. Dulu pernah terlintas di pikirannya bahwa Miko akan melakukan itu. Kekhawatirannya memiliki anak tanpa pernikahan bahkan membuatnya mudah terbawa perasaan. Ia berharap kala itu ada laki-laki yang mendukungnya, memberinya semangat dan menolongnya yang takut akan masa depan buruk ia dan anaknya. Tapi setelah rasa sakit dipermainkan perasaannya oleh Revan ia tidak berniat lagi untuk mencari ayah pengganti. Bahkan Miko. Ia merasa tidak pantas bersama laki-laki itu.

Marissa mendengar suara mobil Mario di depan. Ia keluar melihatnya dari balkon kamar. Mario berkaos army keluar dari dalam mobil menenteng jaketnya

Marissa memperbaiki tempat tidur. Sudah beberapa hari Mario tidak pulang pasti ingin istirahat, pikirnya. Ia juga menyiapkan handuk Mario yang telah ia cuci. Lalu turun menyambut Mario yang wajahnya kusut.

"Mau makan?" tanya Marissa ketika bertemu dengannya.

Mario menggeleng. Ia merebahkan tubuhnya di sofa depan tv.

"Kopi?"

Mario tidak memberi jawaban.

"Saya buat sebentar"

"Gak perlu" kata Mario memperbaiki duduknya. Marissa mengangguk. Ia memperhatikan lingkar hitam bawah mata Mario yang pekat.

"Mario, kamu sering begadang?"

"Banyak kerjaan"

"Kalau ada tugas kuliah bawa kesini saja biar saya bantu"

Mario tak menjawab. Dia menghidupkan tv, mengganti channelnya berkali-kali. "Apa ada kurir mengantar kiriman kemari?.

"Ada. Ada di kamar di atas nakas" Jawab Marissa. Setelah itu Mario tidak bicara lagi.

Marissa meninggalkannya setelah sadar bahwa dia terlihat bersikap berlebihan pada Mario. Bahkan alasan mama Yuli untuk menjaga anak-anaknya tidak bisa membuatnya puas.

"Marissa" Suara bibi datang dari depan. "Ada bang Cio. Abang mau bibi buatkan apa?" tanya bibi yang membawa plastik hitam.

"Kopi"

"Oh, tunggu ya. Bibi urus Marissa dulu" ia menarik Marissa ke dapur. Sementara Marissa berpikir apa kesalahannya hingga Mario menolak tawarannya untuk membuatkan kopi. "Duduk sini" bibi menepuk lantai pendopo.

"Bibi kenapa pulang lagi?" tanya Marissa pada wanita berusia enam puluh tahun itu.

"Bibi kan janji mau pijat"

"Disini?. Tidak enak ada Mario".

"Di kamar aja".

"Ada Mario"

"Ndak apa, kan cuma pijat" bibi meletak plastik putih di paha Marissa. "Jambu air di depan rumah bibi"

"Makasih bi".

"Iya, naik ke atas dulu. Bibi buat kopi untuk Bang Cio".

❤️

"Coba sarungan dulu" Bibi memberikan sarung batik pada Marissa "Lepas aja pakaiannya".

"Nanti Mario masuk bahaya bi".

"Bang Cio lagi tidur. Biasa lama bangunnya". Bibi menepuk bantal duduk yang ia bawa dari bawah. Sementara Marissa menurutinya membuka pakaian, bersarung di dada.

"Kan sebentar ya bi?"

"Iyaa, asal hilang pegelmu, alhamdulillah" wanita tua itu mengulurkan tangan membantu Marissa duduk di bantal duduk yang ia siapkan.

CANDALA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang