Candala 7

1.8K 142 14
                                    

Kalung dengan liontin bola kaca berwarna hijau itu terus di tatap Marissa. Bagaimana bisa mengetaui identitas laki-laki itu hanya dari kalung?. Bisa saja ada banyak orang yang memiliki kalung yang sama persis.

Marissa putus asa, sudah seminggu ia tidak masuk kuliah sejak mengetahui bahwa ia hamil dan beberapa hari terakhir ia memutuskan untuk mencari laki-laki itu di sekitar lokasi kejadian. Tapi hasilnya nihil.

Kali ini Marissa kekampus. Tujuannya menghindari konflik apapun hingga semester ini selesai dan dia mengambil cuti. Jika bisa waktu selama tiga bulan tersisa ini dia menyembunyikan keadaan perutnya tanpa di ketahui orang lain. Termasuk dari Mario dan Geng Mata Elang.

Sementara itu Geng Mata Elang was-was ketika melihat polisi datang ke kampus mereka yang kabarnya mengenai kasus Miko.

"Polisi sudah ke kampus apa mungkin dia sudah mulai curiga dengan kita?" tanya Denu.

"Kalian ingat kan yang gue bilang?. Anggap kejadian itu gak pernah ada. Jangan takut jika kalian main bersih" Mario santai memetik dawai gitar. "Van, si Marko ngajak tanding lagi?"

Revan menggeleng. "Kalaupun iya dia mau dua kali lipat"

"Nanti gue ambil lagi kerumah. Motor anak-anak yang diganti cukup uangnya?"

"Cukup, lebih sejutaan lah lagi"

Mario mengangguk. "Gue pulang dulu hari ini. mau ngambil baju" Mario melempar gitar ke Papam. Ia berdiri lalu berjalan menuju parkiran.

Sebelum ke parkiran bawah dimana mobil Mario berada, Mario melintasi jalan melewati kelas Marissa. Dari jarak beberapa meter ia melihat Marissa berlari menaiki lantai dua yang kemudian diikuti oleh Mario. Marissa terlihat memasuki WC lantai atas yang cukup sepi. Baru mendekat jarak lima meter dari pintu WC Mario mendengar suara seseorang yang sedang muntah didalam. "Itu cewe dungu kan?" batinnya.

Beberapa waktu kemudian Marissa keluar memperbaiki kemejanya dan menutup mulutnya dengan sapu tangan. Melihatnya seperti itu membenarkan pertanyaan Mario tadi. Mario bersandar di tiang balkon kearah Marissa, bersilang dada memasang wajah angkuh. Marissa yang baru sadar kehadirannya kaget.

Mario melirik botol kecil yang ada di tangan kanan Marissa. Botol itu lalu di sembunyikan Marissa kemudian kedalam tasnya. "Lo sakit apa sampai sekarang masih minum obat?" tanya Mario selidik.

Marissa salah tingkah. "Saya sedang gak berminat bertengkar dengan kamu" katanya hendak meninggalkan Mario.

Mario mencekal lengan Marissa lalu mengambil botol kecil itu di dalam tas Marissa. Ia memperhatikan botol kecil putih yang ternyata adalah obat.

"Mario tolong kembalikan obat itu" pinta Marissa mencoba mengambil obat itu dari Mario. Tapi Mario mengangkatnya tinggi-tinggi hingga tidak bisa di capai oleh Marissa. Senang hatinya mempermainkan Marissa hari ini. Apalagi mendengar Marissa mengucapkan tolong kepadanya. "Saya butuh Mario , tolong" Marissa berusaha menggapai obat itu sambil menutup mulutnya dengan sapu tangan.

"Ambil saja kalo lo bisa" Mari terkekeh.

Marissa menyerah, ia meninggalkan Mario kembali memasuki WC ketika tidak dapat menahan rasa mual. Ia muntah lagi hingga perutnya sakit sampai ke punggung. Marissa menangis, baginya tidak ada alasan baik ia harus melewati masa buruk ini dengan lapang dada. Belum lagi masalah kandungan, kini harus ada Mario yang yang bertingkah seperti ini.

Mario menatap Marissa dari ambang pintu. Selama ini memang ini yang ia nantikan. Melihat Marissa menangis dan mengemis padanya. "Ini" Ia mendekati Marissa. Menyodorkan telapak tangannya yang mana ada sebutir obat di telapaknya.

Marissa menatap Mario tak menyangka dia mau memberikannya obat itu. Tangan Marissa gemetaran mengambil obat itu karena sudah kehabisan tenaga.

"Ups, jatuh" Mario membesarkan matanya menatap Marissa yang kaget ketika dengan sengaja ia menjatuhkan pil itu ke wastafel. Mario sengaja melakukan itu. Memang inginnya. "Yang banyak ada disini" ia mengguncang botol itu lalu berlalu meninggalkan Marissa.

CANDALA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang