Cahaya Qolbu

1.7K 65 17
                                    

Subuh sayu, sebuah rumah kayu di tepi hamparan perkebunan kelapa dan Cacao terlihat kaku. Bekas hujan malam tadi menetes di ujung atap seng. Sayup suara orang mengaji terdengar dari dalam rumah, suara perempuan. Bacaan yang masih belum faseh panjang pendeknya itu terdengar menyiksa bagi orang yang memilih untuk menyelimuti dirinya dari dinginnya subuh yang menusuk tulang.

Nur, nama perempuan itu. Gadis lima belas tahun yang nasibnya piatu sejak berusia lima tahun. Tinggal ia bersama abahnya seorang penjaga kebun milik seorang Toke yang menetap di kota.

"Berisik!!" Suara teriakan itu membuat Nur berhenti mengaji. Menoleh ia pada pintu kamar yang tertutup rapat. Selalu ia kunci atas perintah abahnya. Pada subuh seperti ini abahnya biasanya berada di Masjid. Suara teriakan itu membuatnya takut, meski sudah hampir selama sebulan ia mendengarnya. "Ke masjid sana kalau mau mengaji, Ah!!".

"Kak, tidak solat subuh?" tanya Nur tapi tidak ada sahutan lagi. Nur meletak Al-Quran miliknya di atas meja kayu. Lalu mengangkat sarung solatnya untuk memudahkannya berdiri. Ia berjalan pelan ke arah pintu, mengintip dari celah papan. Laki-laki itu berbaring tak jauh dari pintu kamarnya. Tubuhnya ditutupi selimut seluruh tubuh. Dari celah kayu itu pula ia melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah enam. Nur ingat, untuk menyiapkan sarapan sebelum abahnya pulang. Ia melepas mukena dan sarungnya, membentangnya diatas kasur setelah melipat dua bagian.

Kreeek!

Suara pintu kamarnya berderit hingga membuat tubuh yang tertutup selimut itu bergerak. "Berisik!"

"Iya.. iya kak, maaf" Nur berjinjit melangkah ke dapur agar suara langkahnya di lantai kayu tidak terdengar.

❤️

"Loh, perahunya di seberang" Nur menggaruk kepalanya yang tertutupi jilbab. Seragam sekolahnya ia angkat tinggi-tinggi takut terkena lumpur. Sementara sepatunya menggantung di tali ranselnya. Dari jarak enam meter ia melihat laki-laki dengan Tato di kaki dan punggung kirinya itu sedang duduk di dahan pohon kapas yang tumbuh di tepi sungai. "Kak Qolbu, Kak tolong jemput Nur kesini".

Laki-laki bernama Qolbu itu melihatnya acuh tak acuh. Ia tahu, Nur tidak akan bisa menyeberang sungai dan tiba di rumahnya tanpa perahu kecil itu.

"Kak!"

"Siapa kau berani memerintahku?"

"Minta tolong kak"

Qolbu mengabaikannya.

Lama Nur menunggu akhirnya ia memutuskan untuk menanggalkan seragam putih abu-abunya. Ia meletak Tas dan seragamnya yang dilipat rapi ke tumpukan tempurung kelapa yang lembab. Seragam olahraga yang ia kenakan dua lapis itu ada juga manfaatnya, pikirnya. Nur melihat Qolbu yang tidak juga berniat menolongnya, akhirnya memutuskan untuk berenang ke seberang. Mengambil perahu dan menjemput tas dan pakaiannya.

Qolbu melihat Nur yang berenang dan menjadikan itu tontonannya. "Kau berenang seperti monyet" katanya ketika Nur sampai ke atas perahu.

Nur mengabaikannya, ia mengayuh perahu ke seberang, menjemput tas dan seragamnya lalu menyeberang lagi.

"Apa ada kabar baik?"

"Kabar baik apa?" tanya Nur mengangat tas dan seragamnya naik dari perahu.

"Kau tidak menyebar selebaranku ya??"

"Nur gak sempat kak. Soalnya banyak kegiatan. Kamera teman Nur juga dipake sepupunya, gak sempat nyucinya"

"Ah, kau ini niat menolong atau tidak sih?!. Aku sudah bosan tinggal disini!. Rumah, pohon, kelapa, pohon, pohon!". Qolbu turun dari pohon Kapas, berjalan sambil menggerutu melewati Nur. Tato di kaki kirinyanya itu menjadi fokus Nur, sejak sebulan lalu ia ingin melihat gambar di tato itu secara dekat. Tato di punggungnya ia pernah lihat, gambar elang dalam ukuran yang cukup besar. Sebelah mata elang di tato itu terlihat menakutkan ketika diperhatikan lama-lama. Nur pikir, mungkin Qolbu sebelumnya adalah seorang Yakuza seperti di filem yang ia dan temannya tonton di laptop Gibran.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CANDALA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang