Candala 19

1.4K 108 6
                                    

Belum selesai menemukan solusi mengenai masalah penikaman dan pemerkosaan itu, kini masalah semakin sulit untuk di tutup rapat karena kehadiran Miko. Mario melarikan diri ke rumah Revan, tapi tidak bisa mengadu padanya karena takut sahabatnya itu khawatir.

"Kenapa lo?" Revan melempar handuk yang habis dipakai mengeringkan rambut ke Mario. "Marissa lagi?".

"Gue disuruh tanggung jawab".

"Siapa nyuruh?" tanya Revan. "Papa lo?"

"Dia struk ringan karena ini"

"Lalu, lo bagaimana?" tanya Revan. "Lo tinggal bilang lo suka padanya terserah mau bohong atau gak. Bilang lo mau menjadi ayah dari anaknya. Terserah lo mau ngasih alasan jujur atau bohong. Jangan pertimbangkan gue untuk jujur pada Marissa. Gue gak apa. Pada akhirnya kita harus bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan"

"Masalahnya beda" Mario melempar majalah yang ia pegang sejak tadi sembarangan.

Yang ia pikirkan saat ini adalah kehadiran Miko. Ia ingat wajah Marissa kala ia tahu bahwa yang meneleponnya adalah Miko. Tangisnya itu adalah tangis haru. Orang yang ia suka, ia harapkan kehadirannya sebagai penyelamat sudah tiba.

Seharusnya biar saja Miko mendekam lama di rumah sakit Singapura sana. Rencana untuk mengambil hati Marissa dan mengajukan untuk menikahinya tanpa mengaku bahwa dia pemerkosanya buyar begitu saja. Sementara kondisi Miko yang sudah sadar membuka peluang polisi lebih mudah menemukan pelaku kejadian itu.

"Bagaimana bisa mengambil hatinya dalam waktu singkat?" tanya Mario.

"Marissa itu hatinya lembut. Lo cukup bersikap lembut padanya dan menunjukkan ketulusan lo dia akan percaya. Lo kira berapa lama gue mendapatkan hatinya waktu itu?. Dua kali pertemuan saja. Apalagi dia butuh sosok laki-laki yang mendampinginya pada saat-saat seperti ini".

"Lo dan gue beda. Dari awal hingga sekarang gue jahat padanya. Mana mungkin dia setuju kalau gue bilang mau menikahinya". Mario ingat kata-kata ketusnya pada Marissa. "Gue bahkan bilang gak mungkin suka dengan wanita murahan sepertinya".

"Lalu, sekarang lo menjilat ludah lo sendiri?".

"Gue gak punya perasaan apa-apa padanya".

"Nafsu iya" sindir Revan hingga Mario menunjukkan mimik muka tidak suka. "Mana mungkin selama beberapa bulan lo gak punya perasaan apa-apa. Padahal jelas lo mengakui sendiri lo kalah darinya. Lo gengsi mengakui itu karena lo pikir dia wanita murahan. Gak selevelan dengan seorang Mario yang kelas hidupnya tinggi. Padahal yang merendahkannya lo sendiri. Lo yang menenggelamkan dia kedalam lumpur ".

"Sejak kapan lo pandai menghakimi orang seperti ini?" tanya Mario.

"Sebagai sahabat lo gue saranin untuk turunkan ego lo dan nikahi dia. Terserah lo mau ngaku sebagai pelaku atau gak". Revan menepuk bahu sahabatnya.

"Sorry gue menghalangi perasaan lo padanya".

"Its ok. Dari awal dia memang milik lo. Gue juga gak yakin bakal bisa bersamanya dalam waktu lama".

Mario mengernyitkan dahi, tak mengerti. "Maksud lo?".

"Hape lo bunyi" Revan berdiri mengambil kaos di kursi.

"Yo Nu?" sahut Mario.

"Lo dimana?. Papam uring-uringan. Katanya bakal rusak masa depannya".

"Ada apa?". Tanya Mario penasaran.

"Yo!" Papam setengah berteriak. "Gue bakal miskin seumur hidup yo!. Tolong gue!".

❤️

Marissa meletak nampan berisi air minum. Revan, Mario dan Denu mendengar Papam yang sedang beradu argumen dengan perempuan yang sedang menangis di ruang tamu. Marissa tidak berani ikut campur sejak mereka datang kerumah hanya melihat saja dan bungkam. Pikirnya perempuan yang sedang menangis itu sama sepertinya korban bulli mereka.

CANDALA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang