Candala 16

1.4K 121 27
                                    

Kali ini Marissa ke klinik bersama Rere. Biasanya mamanya akan menyuruh Mario untuk menemaninya. Tapi Marissa segan untuk meminta tolong padanya. Baginya sebaiknya  tidak berinteraksi langsung dengan Mario untuk mengurangi resiko sakit hati karena kata-kata kasarnya.

"Kita langsung pulang ya?".

"Yah, padahal Rere mau ngumpul sama teman. Mau ke toko buku".

"Kakak takut Re. Rere tahu kan sebelumnya kakak tidak pernah keluar rumah lagi sejak kejadian itu kecuali bareng Bang Cio?".

"Kalau begitu kita panggil Bang Cio kesini"

"Jangan dong, nanti malah dimarahi. Rere tahu kan Bang Cio bagaimana orangnya" Marissa memasukkan kertas hasil pemeriksaannnya ke dalam tas "Atau gini aja, Rere pergi dengan teman Rere kakak pulang ke rumah".

"Kalau begitu, kakak biar diantar aja, sebentar" Rere mengambil handphonenya di dalam tas selempang biru lalu menelepon seseorang. "Bang, antarin kakak pulang dong. Rere mau jalan sama teman ke toko buku. Bisa gak?. Oh, Cepat ya, Rere tunggu di depan rumah sakit dekat bengkel". Dia menutup komunikasi, memasukkan kembali hapenya. "Tunggu di pintu depan aja yok kak".

"Abang siapa emang?" tanya Marissa. Soalnya Rere tidak bicara sesantai itu dengan Mario.

"Bang Revan. Biasa sering bantu Rere kalo ada anak usil di sekolah".

"Revan?"

"Iyaa. Kakak kenal kan?. Soalnya Kak Revan sering nanyain kakak lo akhir-akhir ini".

Berdegup jantung Marissa lebih kencang sekali. Ia teringat terakhir kali bertemu Revan dengan suasana yang agak berbeda. Dimana laki-laki itu menangis menceritakan kisah hidupnya dan terlihat tulus dimata Marissa ketika mengutarakan niatnya untuk menjadi ayah dari anak yang ia kandung. Laki-laki itu menginginkannya.

"Nanyain bagaimana?".

"Kakak kabarnya gimana?. Lagi apa, baik-baik aja atau gak kandungannya. Kadang nanyain Bang Cio sering jahatin kakak dirumah atau gak".

"Dia nanya itu?"

"Iya, tumben-tumbenan deh. Apa jangan-jangan dia suka ya sama kakak".

"Ih, sembarangan" bantah Marissa. Tapi dia tersenyum ketika Rere tertawa.

"Rere!" Revan meneriakinya dari dalam mobil. Rere yang di panggil langsung berlari ke arahnya yang menurunkan kaca mobil.

"Bang, antarin kakak pulang yaa. Rere mau jalan sama teman ke Gramed". Rere membuka pintu mobil. Membantu Marissa masuk.

"Teman apa teman?" tanya Revan.

"Teman, rame segeng".

"Oke, apa-apa telepon".

"Sip bang" Rere memberi hormat padanya. "Kalo abang dan kakak mau jalan dulu gak apa. Kak Rissa gak pernah jalan soalnya. Ajak nongkrong kek, ke kafe kek. Mana lah, Rere yakin aman kakak kalo ada abang. Kan abang bodyguard Rere" Rere tertawa lalu menutup pintu mobil itu.

"Heeu, sembarangan!" Revan melepas kacamatanya. Ia mengintai Rere dari jauh menuju sepeda motor yang berhenti di seberang jalan. Ada teman sebayanya yang menunggu, sambil memberi helm. "Benar ya dijemput temannya".

"Iya, saya kenal kok" Marissa menatap Revan yang terlihat membaik. Warna kulitnya cerah begitu pula wajahnya. "Bagaimana keadaan kamu?".

"Gue sehat. Berkat lo dan berkat anak geng yang bawa gue secara paksa ke rumah sakit".

"Benar kah?"

Revan tertawa. "Gue diikat terus digotong rame-rame. Parah sih".

"Ya ampun, segitunya mereka".

CANDALA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang