PART 7 - Too Painful

907 145 11
                                    

Too painful to remember, too painful to keep, too painful to say

🥀
_______________________________________

Pedih, kecewa, marah itu yang dirasakannya. Menganggap dia mati, bukankah itu terlalu kejam? Seorang yang merawatnya selama 20 tahun tega menganggapnya mati.

Memori-memori bersama kedua orang tuanya berputar indah dipikirannya. Hampir semua isi memorinya tentang kebahagiaan, tidak ada yang namanya kesedihan. Mereka membuangnya tidak masalah bagi Enfys, tapi menganggapnya mati? Hal itu tidak bisa dimaafkan lagi.

Lagi-lagi pikiran untuk mengakhiri hidup menggerayangi pikirannya. Disaat sedih dan merasa kecewa pikiran itu selalu hadir menyapanya. Apakah lebih baik ia mati saja seperti yang diberitakan? Atau melanjutkan hidupnya dengan penuh kesedihan dan kekecewaan?

Ia sudah siap mengakhiri hidupnya, sebilah belati sudah bertengger di pergelangan tangannya. Namun kemudian, tangan kokoh seseorang segera mengambil alih belati tersebut dan langsung membuangnya asal.

"Apa kau gila?!" pekik Zayle.

Tak ada balasan dari Enfys, gadis itu diam dan tatapannya kosong. Kepalanya terasa berat dan kemudian ia ambruk. Dengan sigap Zayle mengangkat Enfys dan membawanya ke Kastil. Ia tidurkan di ranjangnya dengan nyaman.

Meskipun ia sedang tak sadarkan diri, matanya selalu mengeluarkan bulir-bulir bening. Zayle duduk di dekat gadis itu kemudian menghapus air matanya. Ia mengenggam tangan Enfys kemudian mengecupnya dengan lembut.

Hingga malam tiba, Zayle masih setia menunggu Enfys sadar. Gadis itu terbangun karena kepalanya terasa sakit dan berdenyut-denyut. Zayle membantu gadis itu untuk duduk, kemudian mengambilkannya sebuah ramuan kesehatan turun-temurun yang dibuatnya tadi.

"Nih, minum aja. Biar sembuh." Zayle mengulurkan segelas ramuan yang dibuatnya.

"Aku gak mau sembuh. Aku ingin mati." Mata Enfys mulai berkaca-kaca lagi. Ia duduk di tepi ranjang memunggungi Zayle. Enfys ingin beranjak pergi, namun Zayle segera memegang pergelangan tangan gadis itu.

Gadis itu ditarik kemudian didudukan kembali. Zayle mencengkram kuat pergelangan tangan Enfys kemudian menatapnya tajam.

"Dengan kamu mati, kamu gak akan nyelesain masalahnya. Yang ada mereka malah seneng. Otak kamu itu pikirannya mati, mati, dan mati. Emang gak ada pikiran yang lain? Seharusnya kamu itu mikirin cara buat jadi kayak dulu. Tunjukkin ke mereka kalau kamu itu masih hidup! Jangan pernah kamu ngelakuin hal kayak tadi. Mati dengan cara bunuh diri itu level paling rendah." Zayle berucap dengan emosi yang menggebu-gebu. Ia menghembuskan nafas kasar lalu mengacak-acak rambutnya.

"Kamu itu duyung paling bodoh yang aku kenal." Zayle beringsut mundur. Ia palingkan wajahnya.

"Sekarang kalau kamu ingin mati. Terserah, aku gak akan mencegahnya lagi," ujar Zayle yang kemudian pergi meninggalkan Enfys.

Tentu saja pangeran duyung itu tidak serius dengan kata-katanya, tak mungkin membiarkan Enfys tiada. Ia sudah mengetahui cara menjadi manusia dan akan memberitahukannya pada Enfys. Tapi, gadis ini malah ingin mengakhiri hidupnya. Bukankah itu sangat bodoh?

Gadis itu sejenak memikirkan ucapan Zayle. Ucapan lelaki itu ada benarnya juga, tapi apakah bisa dia berubah seperti dulu? Menjadi manusia? Ia rasa itu mustahil.

Enfys mengacak-acak rambutnya, ia menangis histeris. Dirinya sangat frustasi. Memang benar ucapan Zayle, pikiran gadis ini hanya mati, mati dan mati. Sekarang Enfys mengambil sebuah trisula kecil yang terletak tak jauh darinya.

Gadis itu sudah sangat frustasi dengan semua hal yang terjadi padanya. Ia akan mengakhiri hidupnya sekarang juga. Toh, Zayle tidak akan mencegahnya lagi. Ia menyeka air matanya, kemudian mengarahkan trisula itu ke dadanya.

Jleb!

Trisula itu sudah tertancap di dadanya, darah bercucuran di mana-mana. Tiba-tiba Zayle datang dan dengan cepat menghampiri Enfys. Ia tarik trisula itu, kemudian luka gadis itu dililit dengan kain supaya darah tidak terlalu banyak keluar.

"Kau benar-benar gila, Enfys!" pekik Zayle.

"Kenapa kamu di sini? Tak usah menolongku lagi." Gadis itu berucap dengan terbata-bata.

"Kau gila dan bodoh!" seru Zayle.

Sudut bibir Enfys melengkung, dia tersenyum dan kemudian pandangan gadis itu mulai menggelap. Langsung saja Zayle menggendongnya lalu merebahkannya di ranjang. Ia tempelkan telinganya di dada gadis itu dan ternyata jantungnya masih berdetak, namun detakannya sangat lambat.

Zayle memanggil para pegawalnya dan menyuruh untuk memanggilkan tabib kepercayaannya. Beberapa saat kemudian tabib itu datang lalu mengobati luka Enfys. Untung saja Zayle menyumpal tusukan itu menggunakan kain dan itu berhasil memperlambat pendarahan.

Zayle mondar-mandir sambil menggigit jarinya, ia sangat amat khawatir dengan keadaan Enfys. Perdana menteri Louis pun datang dan memenangkan Zayle. Ia terus berkata, "Dia akan baik-baik saja."

Tabib itu mulai menempelkan beberapa obat yang ia buat tadi dan itu berhasil menghentikan pendarahannya. Meskipun luka tusukan sudah diobati, jantungnya masih berdetak dengan lambat.

"Luka tusukannya sudah saya obati. Seharusnya keadaannya mulai membaik, tapi detak jantungnya semakin lama semakin lemah. Seperti tidak ada semangat hidup," tutur tabib itu.

"Sekarang kita harus bagaimana?" Zayle menatap tabib itu.

"Menunggu mukjizat datang. Pangeran juga harus menyemangatinya. Ucapkan kata-kata penyemangat tepat di telinganya, mungkin dengan itu ia akan memiliki semangat hidup kembali."

Akhirnya Zayle menyuruh Perdana menteri Louis dan tabib untuk pergi meninggalkannya. Ia butuh waktu berdua dengan Enfys. Zayle akan mencoba saran dari tabib itu. Ia mulai membisikkan ucapan penyemangat di telinga gadis itu.

"Kau harus sadar Enfys! Atau kau akan menerima hukuman karena bersikap tidak sopan kepadaku. Kau ingin sadar atau ku hukum dengan berat?"

"Sadarlah Enfys! Apakah kau tidak ingin kembali menjadi manusia? Apa kau tidak ingin berenang dan berlomba di kejuaraan? Apa kau ingin mengecewakan para Fysdel Lovers? Bangun Enfys! Sadarlah! Kalau kau ingin melakukan itu semua, kau harus tetap hidup, Enfys." Zayle menyeka air matanya, ia tak ingin terlihat menyedihkan di hadapan Enfys. Meskipun Zayle baru mengenal Enfys, ia sangat menyayangi gadis ini.

Nasibnya dan Enfys tidak jauh berbeda. Tetapi, Zayle masih bisa mengontrol dirinya sedangkan gadis ini tak bisa. Zayle memang bukan duyung seutuhnya, ia mendapat kutukan karena tindakan ayahnya dulu. Bahkan pangeran duyung itu lebih parah, ia menjadi duyung saat berumur 7 tahun. Usianya masih dini untuk menerima itu semua. Untung saja dirinya diadopsi oleh pasangan duyung yang sangat menyayanginya.

"Sadarlah, buat mereka semua tercengang dengan kehadiramu. Jangan seperti ini, malah berbaring lemah tak berdaya. Kau harus sadar!" Zayle terus berucap dengan menggebu-gebu.

"Aku tau cara kau kembali menjadi manusia. Kumohon sadarlah."

"Aku akan selalu berada di sisimu."

Begitulah yang diucapkan Zayle. Ia mengucapkannya berulang-ulang, tentunya air matanya berlinang setiap mengucapkan kata-kata itu. Ia sangat menyayangi Enfys, manusia yang tiba-tiba menjadi duyung.

Tiba-tiba jari tangan gadis ini bergerak.

"Enfys?!"

Bersambung....

Destiny Of Life [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang