33. Bimbingan Belajar

61 11 0
                                    

Hari terus berlalu begitu saja. Seperti biasa, tak ada hari yang istimewa bagi Rafi. Saat dia yang duduk di kelas dua belas harus menghadapi berbagai ujian dan praktek, raut wajah Rafi tak pernah gelisah. Bahkan, untuk kelas tambahan berupa bimbingan belajar bukan masalah baginya.

Setelah berperang melawan ulangan harian terakhir Matematika, Rafi menghela napas lega. Sang guru telah meninggalkan kelas lima menit lalu, sementara Bu Istu selaku guru pelajaran berikutnya belum memasuki kelas.

"Kayaknya jam kosong, deh. Udah lama kita gak konser, lagi pula sebentar lagi lulus. Konser, yuk," ajak Rafi. Dia sudah siap dengan sebuah sapu di tangannya. Ini adalah salah satu kelebihan Rafi. Dia selalu percaya diri walau dia sendiri tahu suaranya tak nyaman untuk didengar.

"Memangnya lo lulus?" tanya Theo yang membuat Rafi menjitak kepalanya.

"Kalau ngomong hati-hati. Gue gak mau tua di SMA. Nyanyi aja, yuk."

"Kalian mau konser? Suara kalian jelek-jelek, jangan buat gendang telinga gue rusak!" Seperti biasa, Talita adalah haters Rafi garis keras. Dia akan menolak mentah-mentah acara konser Rafi di kelas yang memekakkan telinga.

"Bawa earphone makanya biar gak dengar suara emas gue. Gak usah alay lo," sahut Rafi. Dia menggenjreng sapu layaknya gitar dengan posisi tangan membentuk chord secara asal. Tentu saja, Rafi tidak pernah belajar musik. Lain halnya dengan Refi yang paham hampir 100% tentang musik.

"Dulu aku suka padamu dulu aku memang suka." Rafi membuka dengan suara menggelegar yang disambut oleh teman-temannya.

"Ya ya ya."

"Dulu aku cinta padamu dulu aku memang cinta."

"Ya ya ya."

"Namun sekarang kutak sudi tak kutak sudi tak tak tak tak tak tak."

"Apa, sih, Anjir. Gak jelas banget lo," komentar Theo yang merasa terganggu akan lirik Rafi. Sudah suara di bawah standar, merubah lirik pula.

"Gue lupa lirik." Rafi menjawab sambil menampilkan cengiran.

Keadaan kelas Rafi saat itu benar-benar ramai. Jangan tanyakan ke mana para guru piket yang seharusnya menegur. Hal itu hanya sia-sia. Mereka akan diam saat guru itu menegur dan akan kembali ramai saat sang guru pergi.

"Minuman keras!" Kali ini Andre yang bernyanyi. Dengan lantang dia mengeluarkan suara tanpa rasa ragu sedikit pun. Tentu saja Rafi langsung menyambutnya dengan senang hati.

"Minyak gas!" Rafi membalas tak kalah semangat. Baru saja mereka hendak bernyanyi lagi, Andre dan yang lain langsung menatap ke arah pintu. Ketua kelas XII IPA 1 tengah berdiri gagah di sana membawa selembar kertas. Tatapannya yang datar seolah mengintimidasi ditambah alis tebal yang naik sebelah saat melihat kondisi kelas berisi penghuni tidak waras.

"Refi? Lo ngapain ke sini? Lo pasti nyari-"

"Andre." Belum sempat Rafi menyelesaikan kalimatnya, Refi lebih dahulu memotong. Kesunyian kelas kala itu membuat rasa malu Rafi berkali-kali lipat. Masih dengan kekehan, Andre menghampiri Refi yang seolah tak betah berlama-lama di kelasnya.

"Ada apa, Ref? Tumben banget lo ke sini," ucap Andre berusaha menghilangkan kecanggungan. Entah mengapa, dia merasa terintimidasi saat berhadapan dengan Refi. Walau laki-laki itu tak melakukan apa pun, tatapan datar dan sikap dinginnya mampu membekukan kelas XII IPA 4 yang panasnya hampir menyamai neraka.

"Gue dititipin ini sama Bu Istu. Gue harus kasih ini ke lo selaku ketua kelas. Beliau berhalangan hadir karena ada urusan." Refi menyerahkan selembar kertas berisi halaman yang harus mereka kerjakan. Masih senyap, seluruh siswa di kelas IPA 4 menyimak setiap kalimat yang Refi lontarkan.

Clinomania Syndrome [ COMPLETED✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang