03#

817 59 1
                                    

* P O S E S I F *
#

####

"Menurutmu senyumku bagaimana?" Tanyaku pada Benjamin- sepupuku dari pihak ibu.

Ben menghentikan kunyahan-menatapku yang tersenyum. "Menyebalkan," jawabnya datar lalu kembali melanjutkan makan.

"Ck, salahku yang bertanya pada jelmaan kulkas," gerutuku yang aku yakin masih bisa di dengar olehnya, karena dia berada tepat di sampingku.

Kupikir dia akan sedikit berubah setelah bertunangan dengan anak ketua partai politik itu, tapi nyatanya tidak sama sekali. Benjamin Allerazd tetap menjadi manusia dingin dengan minim rasa kemanusiaan.

Pesta inti dari pertunangan Ben telah berakhir satu jam lalu, sekarang ini adalah waktunya jamuan makan malam. Dan entah bagaimana ceritanya aku berakhir duduk disampingnya.

Jamuan para orang tua dan anak muda di pisah meja. Meski begitu aku tidak menerasa berada di tengah-tengah anak muda, suasananya sama saja dengan meja sebrang yang begitu formal dan kaku.

Dan tentu saja penyebabnya karena pria yang berada di sampingku, mereka terlalu segan padanya. Aku sendiri heran kenapa orang-orang takut pada Benjamin, lagi pula dia tidak akan memakan siapapun....

Tapi kalau bunuh sih, mungkin.

"Kau tidak membawa pacarmu?"

Aku langsung menoleh cepat pada Ben. Langka sekali dia berinisiatif memulai percakapan.

"Tidak," aku mengedarkan pandangan ke sekitar dengan kepala menggeleng pelan. "Disini terlalu banyak mata yang akan memandangnya."

"Kau mengerikan."

Komentarnya membuatku tertawa seketika, "hahahaha... Haruskah aku memberikanmu cermin?"

Ben mengendikkan bahunya tidak perduli, "setidaknya aku tidak memperlakukan wanitaku seperti boneka." Ben mengelus rambut Katty yang sedari tadi diam saja di sampingnya.

Aku berani bertaruh jika make up-nya di hapus saat ini juga, Katty pasti terlihat seperti mayat.

"And I admin it. Jujur saja aku paling benci jika bonekaku lecet sedikit sedikit saja, meski oleh tanganku sendiri." Aku tersenyum seramah mungkin setelah membalas komentarnya.

Benjamin mendengus jengkel, entah itu karena jawabanku atau senyumku yang menurutnya menyebalkan.

Dan keheningan kembali terjadi setelahnya, yang terdengar hanya suara pemain piano. Kalau Isy mendengar suara piano se mellow itu, dia pasti mendadak ngantuk dan tertidur.

Ngomong-ngomong soal Isy--

Aku melirik jam dipergelangan tanganku, sudah empat jam lebih aku meninggalkan Isy sendirian di apartemen.

--'Dia sedang apa ya?'

Dengan segera aku mengeluarkan ponsel dari saku jas, untuk melihat rekaman cctv apartemen yang terkoneksi pada ponselku.

Aku ikut tersenyum saat melihat Isy tengah tertawa menonton televisi.

Oh God! Kenapa dia semakin hari semakin manis saja?!

Andai saja aku segila Benjamin, pasti aku sudah merantainya di kamar, dengan begitu tidak ada satupun orang yang bisa melihat senyum manisnya selain aku.

Ah... Lebih baik aku mulai memikirkan bagaimana caranya agar ia tidak bisa lagi ke luar rumah, atau minimal tidak lagi datang ke kampus. Tanpa harus melukai fisiknya.

LOVE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang