04~

841 55 0
                                    

~ B A D ~
***


"..... What else....

I'm better by myself....

I'm better by myself....

I don't need no wanna else.....

Myself...."

"Gila! Lagunya bener-bener deskripsi in lo banget anjrit!" Komentarnya begitu lagu terakhir di playlist ku telah selesai.

Aku mengibaskan rambut sebahu ku dengan wajah menyombong, "udah gue bilang kan, kalau kak Bazzi bikin tuh lagu karena terinspirasi ke gue."

"Sini gue tabok dulu biar lo bangun," Narsiah mengangkat tangannya seolah hendak menamparku.

Aku memicingkan mata dan bangkit dari duduk, memandangnya rendah karena Siah masih duduk di karpet. "Emang berani?"

"Heh lo..... Ampun bang jago," jawabnya menunduk dengan kedua tangan memohon, tingkahnya seperti video tik tok yang viral baru-baru ini.

Ke gajen an pun di mulai. Aku meladeninya dengan kata-kata ikonik lainnya.

"Hilih... Lagu lu cakep! Muka lu tuh anjrit tau gak?"

Siah ikut berdiri ia menunjuk wajahku yang masih lebih tinggi darinya, "iri bilang bos."

"Om, om culik Siah dong."

"Tangan kosong kalau berani!"

"Benar-benar memalukan!"

"Rasanya amjiiiiing banget."

"Kamu berdosa banget." Aku memegang dada dengan ekspresi sedih. Sedetik kemudian kami tertawa bersama. Hal seperti ini sering kami lakukan, tapi entah kenapa tidak terasa garing sedikitpun. Tentunya humor kami yang memang serendah itu.

"Udah ah, gak bakal ada abisnya ngeladenin anak kera sakti mah."

"Sekedar informasi, bukankah Anda yang memulai wahai keturunan jerapah?" Siah memandangku dengan ekspresi kesal di buat-buat.

"Kapan? Situ ada bukti? Gue gak inget tuh."

"Nye, nye, nye, susah ngomong sama orang tua mah, ingatannya kemakan umur."

"Bangsul memang, gue lebih muda ya dari lo! Udah ya say, neng Indy Arhskyla mau balik dulu."

Sejak aku berdiri, niat untuk pulang memang sudah ada. Meski masih betah, tapi hari sudah semakin malam juga jarak rumahku dan Siah yang jauh. Kurang lebih 40 menit naik motor, itupun jika jalanan lengang.

"Gak kerasa udah setengah sepuluh aja," ungkapnya setelah melirik jam dinding.
Siah ikut membantuku memunguti barang-barangku yang tersebar di karpet-memasukannya kedalam tote bag hitam ku.

Akhirnya rasa gatal untuk membereskan terobati juga.

"Udah semua kan?"

Aku kembali memeriksa barang-barang ku, dan setelah meyakini lengkap aku mengangguk.

"Yuk gue anter ke depan." Siah berjalan mendahuluiku. Aku tidak berpamitan pada orang tua Siah, jangan anggap aku tidak sopan. Karena aku sudah bersahabat lama dengannya dan sering main, jadi aku tahu betul jika jam segini mereka telah tidur.

Setelah berpelukan dan cipika cipiki, aku langsung memakai helm dan menaiki motor maticku.

"Hati-hati dijalan! kalau udah sampai rumah WA gue!" Teriaknya yang langsung kuberi acungan jempol.

Setelah menyalakan mesin motor, aku memberikannya klakson 2 kali, "bye, bye anak pungut!" Teriakku sebelum akhirnya meninggalkan pelataran rumah Siah tanpa menoleh lagi.

LOVE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang