05#

801 50 6
                                    

° P E A C H °
~{~{-}~}~

Mati...

Mati....

Mati......

Orang-orang itu selalu muncul saat aku sendirian, mereka terus membisikkan kata mati di telinga ku hingga tidak bisa berhenti menggema di kepala.

Andai bunuh diri tidak akan membuatku masuk neraka, pasti sudah ku lakukan sejak awal. Padahal aku buta, tapi hebatnya aku bisa melihat mereka muncul dengan rupa yang mengerikan.

Aku tidak boleh mati bunuh diri, aku harus bertemu mama di surga. Dan juga aku tidak boleh menyia-nyiakan jantung yang Mama donor kan untukku.

Andai saja luka ku lebih parah dari mama saat kecelakaan yang kami alami beberapa tahun lalu, pasti dokter memutuskan untuk menyelamatkan mama dengan organ tubuhku.

Harusnya saat itu mama lebih teliti lagi mengunci pintu mobil dan memakai sabuk pengaman, dengan begitu mungkin ia tidak akan terpental ke luar hingga kepalanya terlindas oleh truk. Jika itu tidak terjadi, pasti keadaan mama akan jauh lebih baik dari aku yang tertusuk patahan besi di bagian jantung dan serpihan kaca yang masuk ke mata hingga membuatku buta.

Sayangnya takdir tidak pernah berpihak padaku. Selalu seenaknya. Padahal saat itu aku baru bertemu mama kandung ku seminggu karena sebelumnya ia menitipkan ku di panti asuhan.

Tuhan hanya memberikan ku rupa yang cantik tanpa memberikan takdir yang cantik juga.

Sialan, mereka semakin berisik! Percuma saja aku menutup telinga, karena suara-suara itu muncul dari dalam diriku.

Tenangkan diri mu Adelin.....

Tenang....

Harus tetap tenang.....

'Plak'

Satu tamparan pada diri sendiri agar fokus ku teralihkan pada rasa sakit. Aku tidak bisa tenang! Sadar lah Adelin! Itu semua hanyalah halusinasi!

Mereka tidak akan bisa menyakitiku! Tidak akan.

'Dugh'

Satu benturan pada tembok agar bisikan mereka berganti jadi dengungan di kepala.

"Ah, menyakitkan." Aku menyentuh kepalaku yang berdenyut nyeri. Syukurlah tidak apa-apa. Selama tidak berdarah artinya tidak melukai diri sendiri kan? Aku tetap menepati janjiku padanya. Orang yang mengurungku di tempat ini.

Andai saja aku masih bisa melihat seperti beberapa tahun lalu, aku pasti sudah melarikan diri dari kamar ini. Aku bahkan tidak tahu siapa orang yang mengurungku di tempat ini selain namanya Lazio.

Aku menganggap kecelakaan itu telah terjadi beberapa tahun lalu karena aku terkurung di tempat ini sudah terasa sangat lama. Tidak sampai puluhan tahun, karena saat meraba wajahku sendiri aku tidak menemukan keriput.

Suara pintu terbuka dan tertutup terdengar olehku--di ikuti langkah kaki yang mendekati ku.

"Siapa?" Meski sudah tahu jawabannya, aku tetap bertanya untuk memastikan.

"Aku," Lazio menjawab dengan suara rendahnya. Aku bisa merasakan ranjang bergerak. Hembusan nafasnya di ceruk leherku membuat tubuhku merinding seketika, dia memelukku dari belakang dengan posisi duduk. Lazio berbisik lirih, "kau melanggar janjimu padaku."

Aku menggeleng dengan cepat.

"Jangan mengelak."

Dia melepas kan gaun tipis yang melekat di tubuhku dan melemparkannya entah kemana. Sekarang aku telanjang bulat. Lazio memang tidak pernah memberikanku pakaian dalam, bisa dibilang dia pelit. "Menampar diri sendiri, dan membenturkan kepala ke tembok, keduanya sudah termasuk menyakiti diri sendiri loh."

LOVE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang