“ Dari mana bayang-bayang itu muncul? ” gumam Niken sembari mengamati foto-fotonya. Rasa kesal bercampur penasaran. Ia yakin bayangan itu bukan karena hasil dari efek kamera Lomo-nya. “ Ardi juga tak mengadarinya. Atau ia merahasiakannya dariku? ”
***
Setelah yakin bayangan di foto itu seharusnya tak berada di sana, ia cepat-cepat menelepon editornya. Cemas menunggu, tanpa sadar Niken menggigit bibirnya.
Tak berapa lama kemudian terdengar suara seseorang dari sambungan yang lainnya. “Hai, Ela!!” kata Niken cepat.
Suara-suara derum kendaraan terdengar melatari sambungan telepon yang satunya. Terdengar suara terburu-buru: “ Ya—ya, ada apa? Aku masih ada di jalan ini.”
“ Kau nggak menemukan keanehan dalam foto-foto di bab terakhir, kan? ”
“ Ng—mmh, udah di cek ratusan kali. Gak ada salah cetak. Jangan bilang ada yang salah, saat ini! ”
“ Bukan cetakannya. Tapi, fotonya ... foto aslinya. ”
“ Duh, nanti aku periksa lagi, deh. Tapi, gak usah dipirkan ... bukunya udah jadi. Kau udah menerimanya, kan? Cetakannya bagus, gak banyak yang rusak atau salah cetak. Impossible merevisi lagi. Kecuali kalau nanti cetak ulang. ”
“ Iya—iya, aku mengerti. Bukan—bukan itu maksudku. ”
“ Udah dulu, ya, say. Aku masih di jalan ini, habis makan sama rekan, mau balik ke kantor. Nanti kuhubungi lagi. ”
“ Oke—oke.” Niken mendengar sambungan telepon itu terputus.
Wajahnya masih penuh tanda tanya. Ia beranjak dari ranjangnya dan memeriksa buku edisi nomor lepas. Editornya mengantarkan sendiri sepuluh buku edisi nomor lepas ke rumahnya. Elana membantu Niken mengirimkannya ke berbagai media cetak bonafid untuk diresensi.
Niken membuka halaman terakhir bukunya. Halaman yang menceritakan tentang traveling hari terakhir di kamboja. Mereka mengunjungi tempat penjara Tuol Sleng, tempat penyiksaan tahanan perang rezim Pol Pot.
Di tempat itu memang terjadi kisah misterius. Niken tersesat di dalam ruang kelas yang diubah menjadi penjara khusus untuk perempuan dan tak dapat menemukan pintu keluar. Pintu keluar tiba-tiba menjadi sebuah tembok. Lantai ubin berpetak-petak seperti papan catur membuatnya pusing. Untunglah, Ardi datang dan menyelamatkannya. Ia hanya menuliskan kejadian itu dengan singkat dalam satu halaman, tanpa komentar panjang lebar.
Niken tak suka kisah-kisah horor. Ia merasa tak nyaman melihat wajah yang membusuk. Ceceran darah membuat kepala Niken pusing. Sedangkan Ardi berbeda. Suka atau tidak suka, Ardi akan terus dihantui horor. Horor di dunia nyata. Tak lama lagi, Niken akan terkejut mengetahui horor yang mengikuti mereka selama ini.
Niken menatap lekat-lekat foto yang berada di halaman terakhir itu. Bayangan Ardi ada dua. Sesosok bayangan seperti mengikutinya. Tubuh Ardi memiliki dua bayangan.
“ Nggak mungkin. ” Niken beru menyadarinya. Bulu tengkuknya meremang. Darah mendesir dalam nadinya. Ia melompat dari tempatnya ketika mendengar dering ponsel yang berada di atas ranjangnya.
Sesaat Niken mematung di tempatnya. Ketika dering ponsel menyadarkannya. Ia cepat-cepat meraih ponsel di atas ranjangnya itu. Di layar ponsel tertera nama edotornya: Elana.
“ Ya—halo. ”
“ Foto halaman berapa, Nik? ” tanya Elana. Mulut Elana terdengar mengunyah sesuatu. Niken tahu, editor Niken satu itu suka camilan keripik kentang, disembunyikan di bawah meja kerjanya.
“ Bab terakhir, ” jawab Niken singkat.
Untuk beberapa saat tak terdengar suara apapun selain bunyi berkeresek lembaran kertas yang dibuka Elana. Niken terlihat cemas menunggu.“ Halo—halo, gimana? ” tanya Niken tak sabar.
“ Ya, memang kenapa? Bukankah bagus, foto-foto ini memiliki nilai plus? Kau berhasil mengambil foto penampakan!! ”
“ ...??? ” Niken tak menjawab. Hatinya mencelos. Ia tak menduga Elana juga tertarik kepada penampakan! Sesuatu yang Niken anggap murahan.
“ Halo, Niken. Aku pikir kau sudah tahu. Pada rapat tim redaksi dulu, mereka memberi nilai bagus untuk bab terakhir ini, ” ujar Elana lagi.
Niken masih terdiam. Ia benar-benar tak pernah menyadari foto itu sebelumya. Ia pikir halaman-halaman awal akan mendapat respon bagus dari penerbit dan pembaca.
“ Halo? Kau baik-baik saja, Niken? tanya Elana. Ia tak habis pikir kenapa Nikenbaru menyadarinya sekarang.
“ Uhm—ya, sepertinya begitulah, ” timpal Niken. Ia mencoba menutupi rasa kecewanya. Mencoba memperdengarkan suaranya yang tenang. “ Syukurlah kalau kau suka. ”
Damn!! Foto penampakan?!! Aku berkorban banyak demi mempelajari teknik lomografi bukan untuk mengambil foto penampakan?!!
“ Kalau begitu lupakan!! Kita udah siap mengadakan launching minggu depan. Bukumu dalam keadaan fit. Oke?!! See u!! ”
Niken mendengar bunyi berkeresek dari sambungan yang lainnya. Wajahnya semakin pucat. Ia tak pernah membayangkan hendak memotret bayangan hantu. Atau apa pun itu yang tak dapat dinalar dengan akal sehat. Seumur hidupnya tak ingin bertemu hal-hal mistik dan berbau klenik yang membuatnya merasa tolol.
“ Hal ini gak boleh terjadi lagi ... gak boleh!! ” seru Niken dalam hati. Niken mendekati laptop-nya, ia punya waktu lima belas menit lagi sebelum berangkat mencari gaun pengantin bersama kakak sepupu perempuannya, Sheila. Ia menulis lagi di dalam blog.
Apa kalian percaya hantu? Atau pernah bertemu dengan mereka?
Meski aku berusaha menghindarinya. Aku tak ingin melakukan kebodohan yang sama. Cukup kejadian mengerikan di penjara Tuol Sleng. Tidak boleh terjadi lagi di travellingku yang berikutnya ... Tak pernah terjadi lagi!! Fight!!
End of topic—no comment.
Niken merasa lebih tenang setelah menulis dalam blognya. Ia meninggalkan laptop-nya yang masih online meng- update anti virus.
Namun, Niken tak akan pernah menduga bahwa ia benar-benar akan bertemu dengan bayangan itu—bahkan pergi bersamanya, untuk kesekian kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Blood Forest Spirit Hunter❤ 💀 [On Going]
Terror• [ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] •⚠ Sunyi sepi... Diam tak bernafas Gelap pekat mengancam diri Tubuh terbujur kaku Tubuh terbujur sendiri Hanya sebujur bangkai kita dan Kita yang menemani Hingar bingar dunia sepi Tak ada gemerlap lampu dunia Kini berga...