wooyoung masih asyik bergelung dalam selimutnya ketika ponselnyaㅡyang ia letakkan di atas nakas sebelah ranjangnyaㅡterus saja bergetar untuk kesekian kalinya.
dengan malas, tangannya bergerak ke arah samping berusaha menggapai ponsel mahal itu lalu menjawab panggilan tanpa melihat terlebih dahulu nama yang tertera di layar.
"halo ...," ucapnya dengan suara serak khas orang bangun tidur.
"tuan, presdir jung meninggal."
deg!
kedua mata wooyoung yang sedari tadi masih setia dalam keadaan terpejam, sukses membola.
"a-apa? apa yang kau bicarakan ...?"
"sebentar lagi, jenazahnya akan dikuburkan."
tangan wooyoung terkulai dengan sendirinya. otaknya masih berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya.
-----
dan di sinilah wooyoung berada sekarang. dengan pakaian serba hitam, berdiri mematung sambil memandangi batu nisan di hadapannya tanpa ekspresi.
pandangannya kosong, isak tangis tak terdengar sedikit pun dari mulutnya, pemuda bersurai ungu itu merasa peristiwa yang menimpanya sekarang seakan hanya bagian dari rentetan adegan sebuah film.
"sayang sekali ya tidak akan ada yang membelamu lagi sekarang."
tanpa menoleh pun, wooyoung sudah tahu kalau suara menyebalkan barusan adalah suara kakak tirinya.
"ㅡjangan harap kau akan mendapat bagian sepeser pun. akulah anak sah keluarga jung jadi aku yang akan memegang kendali atas perusahaan," lanjut mingi sambil terkekeh.
"tutup mulutmu."
"apa katamu?" rahang mingi mengeras mendengar perkataan wooyoung barusan. ia berjalan mendekat lalu menatap lurus kedua netra pemuda itu dengan tajam. "tidakkah kau ingin memohon padaku? aku bisa saja mengusirmu dari rumah itu asal kau tahu."
"aku tidak sudi dan tidak peduli," sahut wooyoung dengan penuh penekanan.
mingi mendengus. "ah, benarkah? kalau begitu kau boleh pergi dari rumah itu secepatnya."
tangan wooyoung terkepal kuat, berusaha sekuat tenaga untuk menahan emosi yang membuncah di dalam dadanya hingga rasa-rasanya air mata dapat keluar dari matanya kapan saja.
akhirnya ia memilih untuk beranjak pergi dari situ dibanding harus terlihat lemah di depan pemuda bersurai merah yang berstatus sebagai saudara tidak sedarahnya itu.
"oh iya satu lagi," ujar mingi, membuat langkah wooyoung terhenti sejenak.
"... akan lebih baik kalau kau musnah karena aku muak melihat wajahmu."
-----
"kalau tidak ada yang kau butuhkan lagi, aku permisi," ucap seonghwa sambil membungkukkan badannya sopan.
usai kejadian tadi, wooyoung langsung kembali ke hotel dan lagi-lagi memanggil sang manager seperti waktu itu. untuk urusan sepele tentu saja, yang sebenarnya dapat dilakukan oleh staff hotel biasa.
tapi jauh di dalam lubuk hatinya, sebenarnya wooyoung hanya membutuhkan kehadiran seseorang saat ini dan entah kenapa ia merasa hangat bila bersama seonghwa.
"temani aku di sini."
"aku pergi dulㅡ"
"kumohon. sebentar saja," pinta wooyoung sambil menahan lengan seonghwaㅡmencegahnya untuk pergi. kali ini nada bicaranya terdengar sangat lirih.
"maaf, tuan. aku sibuk," sahut seonghwa datar. ditepisnya pelan jari jemari yang melingkar di lengan bawahnya sembari beranjak ke arah pintu.
"kalau kau tetap memilih untuk pergi dari sini, aku tidak bisa menjamin apa yang akan kulakukan setelah ini."
pemuda bermarga park itu tak menoleh meskipun perkataan wooyoung barusan terdengar seperti sebuah ancaman. ia tetap melangkahkan kaki panjangnya keluar dari kamar itu.
wooyoung menatap kepergian seonghwa dengan pandangan kecewa. ia menghela napasnya kasar sambil menjambak rambutnya dengan frustasi.
otaknya kemudian tertuju pada satu hal.
perlahan tapi pasti, tangannya bergerak mengambil sebuah benda kecil nan tajam dari dalam tasnya.
tidak apa-apa 'kan ia melakukan ini? toh sudah tak ada seorang pun di dunia ini yang peduli padanya.
-----
maap pendek :"

KAMU SEDANG MEMBACA
bitter sweet; hwawoo [✓]
Fanfictionhidup seonghwa sebagai manager hotel menjadi runyam setelah kedatangan seorang tamu yang memaksa tinggal di kamar vip hotelnya. ㅡ bxb, lowercase, baku ㅡ dom!hwa sub!woo ⚠ li'l bit mature content