O5

1.5K 208 13
                                        

wooyoung mengerjap-ngerjapkan kedua matanya yang terasa sembab. ia tidak tahu berapa lama ia menangis di dalam dekapan seonghwa semalam.

mengingat hal itu saja sudah mampu membuat pipi wooyoung memanas ditambah jantungnya yang berdetak jauh dari kata normal.

tanpa sadar sudut bibirnya tertarik sendiri ke atas selama beberapa detik sebelum kemudian senyuman itu luntur. "sadarlah, jung wooyoung. dia tidak sama sepertimu."

perkataan seonghwa tadi malamㅡsaat pemuda itu mendeklarasikan bahwa dirinya adalah seorang straightㅡkembali terngiang di dalam telinga wooyoung dan membuat dadanya sedikit sesak.

dengan lesu ia beranjak turun dari ranjang berukuran king size itu, menyapu pandangannya ke segala penjuru ruangan dan menyadari bahwa seonghwa sudah pergi dari kamarnya.

pemuda itu kemudian melangkahkan kakinya menuju kulkas untuk mengambil minum dan mendapati sebuah sticky note tertempel di sana.



[ apa kau sudah merasa baikan? aku keluar lebih dulu karena harus bekerja. dimakan sarapannya.

p.s : aku sudah membuang cutter-mu. jangan coba-coba melakukan hal bodoh lagi. ]


wooyoung menoleh ke arah meja kaca yang terletak beberapa langkah di sisi kirinya dan mendapati beberapa piring makanan tersaji di sana. senyum manis pun kembali terukir di bibirnya.

kalau sudah seperti ini, mana bisa ia menahan diri untuk tidak jatuh lebih dalam pada pemuda bermarga park itu?

"aish, aku bisa gila."

-----
























"bagaimana keadaan ibumu?" seonghwa bertanya pada gadis di hadapannya dengan sedikit nada khawatir.

sedangkan gadis itu, sihyeon, hanya menyesap vanilla latte di hadapannya dengan santai lalu menjawab seolah-olah tidak terjadi apa-apa. "yah ... seperti biasa."

"kenapa kau terlihat begitu santai? kau bilang ibumu sakit keras dan beliau ingin bertemu denganku."

gadis itu terkekeh. "apa kau tidak sadar kalau itu hanya alasan yang kupakai agar kau mau datang menemuiku?"

seonghwa mengusap wajahnya sambil menghela napasnya kasar. "sudah berapa kali kubilang kalau hubungan kita sudah berakhir, kim sihyeon."

"tapi aku masih mencintaimu!"

"kau sendiri yang bilang sudah muak dengan pemuda workaholic sepertiku 'kan?"

"tidak! s-saat itu aku hanya sedang mabuk danㅡ"

"orang bilang saat kau mabuk kau akan mengatakan perkataan yang sejujurnya. lagipula aku sudah tahu kau bermain dengan pria lain jadi kurasa sudah tidak ada alasan lagi bagi kita untuk tetap bersama," ucap seonghwa finalㅡmembuat sihyeon tidak bisa berkata apa-apa lagiㅡsebelum kemudian ia pergi meninggalkan kafe itu.

di jalan, pemuda bermarga park itu hanya bisa menghela napasnya berulang kali. bodoh sekali dirinya, bisa-bisanya tertipu dengan sang mantan yang tidak tahu diri itu.

padahal ia sudah rela meninggalkan pekerjaannya karena mendengar wanita paruh baya yang dulu sangat dekat dengannya itu sakit keras. tapi siapa sangka gadis itu tega menjadikan ibunya sebagai alasan hanya untuk bertemu dengan dirinya?


"lepaskan, san! aku bilang aku tidak mau!"

"tapi ini sudah perjanjian, jung wooyoung!"

seonghwa menghentikan langkahnya karena mendengar suara yang tidak asing di telinganya terdengar tidak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. lalu ia pun menoleh ke sumber suara dan mendapati wooyoung yang tengah bersitegang dengan pemuda yang tidak ia kenal.

"tapi ayah sudah tidak ada jadi kurasa pertunangan ini sudah tidak sah."

"bagiku ini masih berlaku! aku sungguh-sungguh mencintaimu, wooyoung-ah."

"maaf san, tapi sejak awal sampai saat ini aku tidak memiliki perasaan denganmu."

"tapi kenapa?! apa kurangnya aku?!"

"bukan begitu, tapi aku benar-benar sudah muak dengan semua ini."

"kau ini benar-benarㅡ"

tadinya seonghwa hendak bertindak abaiㅡtidak tertarik untuk mencampuri urusan kedua pasangan ituㅡnamun ketika melihat pemuda asing bermata tajam itu hendak melayangkan tamparannya pada wooyoung, ia pun akhirnya datang menghampiri mereka.


greb!

"dia sudah bilang tidak mau 'kan," ucap seonghwa dingin.

san langsung menatap tajam pemuda tinggi yang tiba-tiba saja mencekal tangannya itu dan berkata dengan tak kalah dinginnya, "kau siapa?"

"aku kekasihnya."

perkataan seonghwa barusan sontak membuat wooyoung membulatkan matanya.

sementara itu, sebuah dengusan lolos dari mulut san. ia lantas menatap tajam ke arah wooyoung sambil bertanya dengan nada remeh, "hei, jung wooyoung. jadi kau membuangku karena dia?"

"sudah kubilang dari awal aku memang tidak ada perasaan denganmu. aku mengikuti perjodohan ini karena terpaksa."

"haha! omong kosong!"

"sudah, ayo kita pergi dari sini," ajak seonghwa lalu menarik tangan wooyoung untuk beranjak dari tempat itu.

"ya! aku belum selesai berbicara! pokoknya sampai kapan pun kau masih berstatus sebagai tunanganku, ingat itu!"

-----





















"kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya seonghwa pada wooyoung yang sedari tadi terus menatapnya dengan pandangan yang sulit didefinisikan.

usai kejadian tadi, kini mereka berdua tengah duduk berhadapan di restoran hotel.

"kenapa kau melakukan itu?"

dahi seonghwa berkerut. "apa maksudmu?"

"kenapa kau mengaku sebagai kekasihku?" wooyoung mengulangi pertanyaannya, kali ini dengan kata-kata yang lebih gamblang.

"ah, itu ... kau terlihat sangat tidak nyaman tadi, jadi aku berniat membantuㅡ"

"lain kali jangan seperti itu," sahut wooyoung datar, membuat seonghwa sedikit tertegun. "kau tidak perlu berbuat sejauh itu."

"maaf, aku terlalu ikut campur ya?" tanya seonghwa sambil mengusap tengkuknya.

pemuda bermarga jung itu menggeleng dengan cepat. "bukan begitu."

"kalau begitu, kenapa?"

'karena hal itu bisa membuatku berharap,' ucap wooyoung dalam hati.

iya, hanya dalam hati. karena pada akhirnya kata-kata yang ia ucapkan bukanlah seperti itu.

"karena ... aku takut kau akan merasa tidak nyaman. berpura-pura menjalani hubungan dengan seseorang yang baru kau kenal, ditambah dia seorang pemuda, aku yakin kau merasa tidak nyaman," cicit wooyoung pelan, nyaris berbisik di akhir kalimatnya.

bitter sweet; hwawoo [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang