O2. lupa

10K 1.4K 217
                                    

Jam menunjukkan pukul empat sore. Usai memasukkan kembali buku-buku jurnalnya ke dalam tas, Yeonjun kemudian mulai menelusupkan kepalanya diantara lipatan lengan.

Matanya terpejam lelah, sedikit menyesali kelalaiannya. Jam terakhir tadi, semuanya berjalan dengan tidak baik. Yeonjun entah kenapa menjadi hilang fokus, presentasinya berantakan, dan nilai kelompoknya kini terancam.

Yeonjun mendadak pusing, bingung tentang kenapa dia bisa menjadi seperti ini. Padahal sebelum kelas dimulai tadi, Yeonjun baik-baik saja. Kenapa semuanya jadi kacau dan berantakan setelah kelas dimulai?

"Jun."

Tepukan di pundak membuat kepala Yeonjun sontak mendongak. Pemuda itu mengernyit, mengangkat sebelah alis menatap Yena yang kini berdiri di sebelahnya.

"Lo gak pulang? Anak-anak udah pada balik. Tuh liat, kelas sepi."

Mendengar penuturan Yena, Yeonjun otomatis melirik sekeliling kelas. Yang dikatakan Yena ternyata benar, hanya tersisa dirinya bersama dengan gadis berkuncir kuda tersebut di dalam kelas.

"Duluan deh Yen, gue masih pengen disini."

"Tumben?" Yena menarik kursi kosong di belakangnya. Lantas kemudian, ikut mendudukkan diri di sebelah Yeonjun sembari menatap lekat manik pemuda itu. "Pasti gara-gara presentasi tadi. Iya kan?"

"Nanya segala," Yeonjun tertawa renyah. Kepalanya ia gerakkan ke kiri dan kanan —seperti sedang melakukan pemanasan. "Lo liat sendiri gimana kacaunya presentasi gue tadi. Yen, nilai kelompok kita terancam cuma karena gue. Masa iya gue tetep ngerasa baik-baik aja dan gak bersalah?"

Yena mengangguk paham. Kalau urusan nilai kelompok, Yeonjun memang sangat sensitif. Ia tidak mau teman-temannya mendapat nilai rata-rata hanya karena kesalahannya.

"Gak usah terlalu di pikirin sih. Banyak kok yang presentasi nya lebih buruk tadi. Gue yakin nilai kelompok kita aman."

"Tetep aja, gue udah buat kacau."

"Ya terus mau gimana lagi? Kalau jelek ya jelek aja. Mau lo jungkir balik sekalipun gak akan ngerubah nilai kita, kan?"

Yeonjun terdiam lama.

"Udahlah, gak usah di pikirin. Anak-anak juga biasa aja. Mereka paham kalo lo emang lagi gak fokus. Lagian dapet satu nilai rata-rata gak akan ngebuat kita gagal semester, Yeonjun."

Yena beranjak dari duduknya. Usai menepuk-nepuk pundak Yeonjun ringan —memberi semangat lewat gerak badan, Yena kemudian ikut pergi dan keluar dari kelas.

Yeonjun termenung. Semakin kesal pada diri sendiri yang kembali membuat kacau.

Pada akhirnya, setelah menghabiskan hampir setengah jam merenung di dalam kelas, Yeonjun memutuskan untuk keluar dan pulang.

Yeonjun berjalan melewati lorong demi lorong kampus. Jam sudah menunjukkan setengah lima, tetapi kampus masih tetap ramai —tidak seperti biasanya.

Pemuda berkaos hitam itu tersenyum ketika ada yang menyapanya. Begini-begini, Yeonjun itu termasuk dalam jajaran mahasiswa yang terkenal di kampus. Selain karena tampangnya yang rupawan, Yeonjun juga merupakan anggota dari BEM, sekaligus ketua tim basket di fakultasnya. Maka wajar saja apabila banyak mahasiswa maupun mahasiswi yang mengenalnya.

Sampai di parkiran, Yeonjun langsung berjalan menuju motornya berada. Ia sibuk mendorong Milo —nama motor kesayangannya— keluar dari barisan motor lainnya, ketika telinganya samar-samar mendengar sebuah percakapan dari balik tubuhnya.

"Kakak gak bisa jemput?"

"Yah... Terus Soobin sama siapa?"

"Yaudah deh."

"Iya, Soobin pulang sendiri."

"See you Kakak!"

Yeonjun termenung. Mendengar perbincangan antara Soobin dengan orang dari balik sambungan telepon yang baru saja terhubung, Yeonjun merasa sesuatu dalam dirinya kini menjadi sangat lega —entah karena apa. Otaknya mendadak bekerja lebih cepat, menyusun skenario serta-merta beribu satu alasan yang mungkin dapat ia luncurkan.

Tersenyum lebar, Yeonjun kontan membalikkan tubuh. Ia mendorong Milo mendekati Soobin yang sedang menggerutu kecil di pinggir tempat parkir.

"Sore, Soobin," sapa Yeonjun tiba-tiba.

Soobin menoleh. Sedikit kaget mendengar Yeonjun menyerukan namanya. Memutuskan untuk ikut tersenyum, Soobin balas menyapa Yeonjun. "Sore, Kak Yeonjun."

"Gak pulang?"

"Baru mau kak, hehe."

"Naik apa?"

"Ojol."

"Ojol?" Soobin mengangguk ketika Yeonjun mengulangi. "Bahaya pakai ojol, Soobin. Ini udah sore. Mending sama Kakak aja."

"Eh enggak usah kak, Soobin gak apa-apa." Soobin menggeleng sambil menahan tangan Yeonjun yang hendak memberikan helm.

Yeonjun tentu tak tinggal diam. Pemuda itu terus-menerus membeberkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi apabila Soobin nekat naik ojol di sore hari. Soobin yang pada dasarnya penakut pun akhirnya mengangguk. Pemuda Desember itu sudah berniat untuk menerima helm yang diberikan Yeonjun, sebelum sebuah tangan lain, tiba-tiba saja terangkat dan menahan pergerakan tangan Soobin.

"Soobin pulang sama gue."

Ah, iya. Sepertinya Yeonjun lupa.

Soobin sudah ada yang punya.

hai? miss me?
hehe, kepedean.

maaf banget karena baru
update setelah hampir dua bulan.
kemarin aku logout,
dan ternyata lupa password.

untung inget lagi, hehe.
see you!
hari ini aku double up.

ex, yeonbin ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang