Zahra terperanjat saat mendengar suara klakson motor dari arah belakang, refleks tubuhnya bergeser semakin ke samping. Dia menoleh dan ternyata itu adalah Zidan.
Cepat-cepat dia menyeka airmata yang beberapa saat lalu sempat kembali lolos dari tempatnya.
"Kak! Udah ditungguin di kampus ternyata ada di sini!" cecar Zidan setelah ia melepas helmnya. Dia mengernyit saat Zahra tak menimpali dan justru mengambil helm lain yang memang dia bawa. Namun, dia mendapati sesuatu di bawah kelopak matanya. "Nangis? Ya, Allah! Aku 'kan terlambat beberapa menit aja, kok malah nangis?"
Zahra menatap Zidan datar. Bagaimana bisa adik kembarnya itu justru mengira dia menangis karena keterlambatan Zidan dalam menjemputnya?
"Siapa yang buat kamu nangis begini?"
"Nggak ada." Zahra bergegas naik setelah memakai helmnya. Dia memeluk Zidan dengan kepala yang sudah bersandar di punggung lelaki itu. "Jalan."
Meski bingung sekaligus cemas, Zidan tetap menyalakan mesin motornya kemudian melajukannya. Sepanjang jalan keduanya hanya bergeming. Zahra dengan pikiran yang menerawang, dan Zidan yang entah harus berbicara seperti apa karena takut perasaan hati Zahra justru semakin memburuk dengan ucapannya.
Setibanya di rumah, keduanya sama-sama turun dari motor dan masuk ke dalamnya.
"Assalamualaikum, Bunda!" ucap Zahra sedikit kencang disusul Zidan.
Mereka berdua mengernyit saat tidak mendengar jawaban apa pun. "Bunda nggak ke mana-mana, 'kan?"
Zidan menggelengkan kepala. "Nggak tahu. Aku 'kan dari kampus belum pulang."
"Ya udah, biar aku periksa ke kamarnya." Zahra berlalu dari sana untuk mencari Nishrina di kamarnya.
Setibanya di depan kamar orangtuanya itu, Zahra pun mengetuk pintu lebih dulu. Namun, sudah beberapa kali dia mengetuk dan memanggil, tetap saja tidak ada jawaban.
Merasa penasaran, Zahra pun membuka pintu tersebut. Dia mengembuskan napas lega saat mendapati Nishrina tengah berbaring di atas ranjang dengan selimut tebal yang sudah membalutinya.
Dia berjalan mendekat sembari mengucap salam untuk yang ke dua kalinya. Tetapi Nishrina tetap tidak menjawab, kedua matanya tertutup rapat.
"Bunda," panggilnya dengan lembut sembari duduk di tepian ranjang tepat di samping Nishrina. Dia mengggenggam tangan bundanya itu dan seketika saja matanya membeliak. "Bunda demam?"
Dia meraba area dahi Nishrina kemudian turun ke leher. "Bunda ...bunda bangun, Bun!"
Mata Nishrina terbuka sedikit demi sedikit. "Kamu sudah pulang?"
"Zidan!" teriak Zahra yang berlari ke luar kemudian kembali duduk di samping Nishrina. "Bunda ikut Zahra ke rumah sakit, ya?"
"Itu tidak perlu. Bunda hanya sedikit tidak enak badan, nanti juga sembuh."
"Kenapa, Kak?" tanya Zidan yang baru saja memasuki kamar tersebut. "Bunda kenapa?"
"Bunda baik-baik saja."
"Ish. Bunda demam, Zidan. Ayo kita bawa ke rumah sakit, biar nanti aku kabari ayah."
Zidan mengernyit kemudian bergerak lebih dekat ke arah Nishrina, dia mengecek suhu tubuh bundanya itu menggunakan punggung tangannya. "Aduh, Bunda! Panas banget."
"Heh!" peringat Zahra. "Ayo, angkat Bundanya."
"Sebentar, Kak." Zidan membuka lemari, mengeluarkan sebuah khimar beserta cadar, kemudian kauskaki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Turn into Reality [TAMAT]
Romance[Seri 1 || #Book 3] Kehidupan seorang Zahra Rashdan Nafisa berubah ketika dirinya bertemu dengan seorang kakak tingkat di kampusnya sekaligus ketua santri di pesantren keluarganya. Lelaki menyebalkan dengan segala batasan yang dimilikinya, mampu mem...