SETELAH membelikan seragam untuk Zihan sekaligus menemani Indy yang berbelanja, kali ini Farhan dan Zahra baru saja sampai di parkiran. Sementara kedua adik mereka masih membeli sesuatu dan akan segera menyusul.
Zahra memasuki mobil setelah meletakkan beberapa belanjaan ke bagasi. Dia mengembuskan napas panjang sembari membenarkan kerudungnya. Hari yang melelahkan, pikirnya.
Sementara itu Farhan yang duduk di balik kemudi hanya diam sembari memandangi wajah Zahra diam-diam. Dia tersenyum saat mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Tepat ketika Wanda datang di antara mereka.
Ia sadar betul, terdapat perubahan pada diri Zahra ketika Wanda datang. Perempuan itu mendiamkan dirinya sepanjang mereka berada di dalam mal bahkan sampai saat ini.
“Zahra!” panggil Farhan berniat kembali membuka obrolan.
Zahra menyahuti dengan bergumam saja. Tanpa menoleh, dan terus saja menatap ke luar sana. Melihat itu, Farhan pun berniat berbicara untuk membahas perasaan Zahra saja sekarang. Dia menekan tombol untuk mengunci mobilnya.
Farhan memposisikan dirinya menghadap ke arah kursi yang diduduki Zahra. “Ternyata kamu masih sama, ya, Zahra.”
“Apa yang sama?”
“Diam kalau lagi merasa cemburu. Alih-alih bertanya, kamu lebih pilih diam dan bergelut sama asumsi kamu sendiri.”
Berdeham, menoleh singkat kemudian kembali memandang ke luar. Itulah yang dilakukan Zahra ketika mendengar ucapan Farhan barusan. “Emang siapa yang cemburu?” tanyanya berpura-pura tidak tahu.
Farhan terkekeh. “Kamu cemburu waktu saya dekat sama Wanda, 'kan? Bahkan nggak cuma sekali tadi aja, sebelumnya juga begitu.”
“Apa, sih, Kak? Udah, deh! Kapan juga saya cemburu?”
“Pertama, waktu kamu dengar Kirana mengatakan kabar kehamilannya sama saya, terus kamu menghindari saya waktu itu bahkan marah sama saya buat hal yang lain. Ke dua, waktu saya meminta kamu menghubungi saya kalau mau pulang dari pesantren. Tepat ketika kamu tahu kalau saya bawa Wanda, kamu pilih buat bawa Zihan dan pulang berdua aja sama dia. Lalu sekarang, kamu mendiamkan saya. Apa masih kurang jelas kalau kamu itu cemburu?” papar Farhan me-rewind semua yang telah terjadi. Ucapannya jelas saja membuat Zahra gelagapan.
“Itu bukan cemburu!” kilah Zahra. “Mana mungkin saya cemburu.”
Farhan menarik lengan Zahra, menuntunnya agar menggeser tempat duduk ke arahnya. “Kebiasaan diam kayak begitu itu nggak bagus, Zahra. Kelamaan bertarung sama asumsi sendiri bisa jadi boomerang buat diri kamu sendiri. Kamu nggak bertanya dan memastikan semuanya. Akhirnya, kamu terluka, marah, dan sedih sendirian. Dan saya nggak mau kamu sedih,”
“Zahra,” Farhan mengecup kepala Zahra singkat. Sementara Zahra hanya tergeming sambil menatapnya. “Saya suka kalau kamu cemburu. Tapi jangan cemburu buta, ya, Sayang? Saya nggak merasa menebar pesona sama orang lain. Kalau pun mereka mendekati saya, satu hal yang mesti kamu tahu: saya milik empat pihak; Allah, orangtua saya, keluarga, dan tentu aja milik kamu. Jadi jangan khawatir, saya tahu ke mana saya harus pulang.”
“Kak Farhan ...,” Zahra memeluk Farhan dan terisak di sana. “Maaf,” lirihnya. Ucapan lelaki itu benar-benar membuatnya merasa bersalah dan sedih. Kalau dipikir lagi, ucapan Farhan memang benar. Dia cemburu tanpa alasan yang benar. Lagi pula, menyukai seseorang adalah hak tiap manusia yang tidak bisa ditentukan orang lain. Karena rasa suka datang dengan sendirinya. Semua tergantung si pemilik rasa, dan orang yang diberikan rasa. Antara meneruskan meski si lelaki telah berpasangan, atau berhenti dan sadar diri. Begitu juga dengan orang yang disukainya. Antara meladeni, atau menyikapi dengan biasa saja tanpa berniat memberi harapan yang lebih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Turn into Reality [TAMAT]
Romance[Seri 1 || #Book 3] Kehidupan seorang Zahra Rashdan Nafisa berubah ketika dirinya bertemu dengan seorang kakak tingkat di kampusnya sekaligus ketua santri di pesantren keluarganya. Lelaki menyebalkan dengan segala batasan yang dimilikinya, mampu mem...