Setelah selesai sarapan dan mencuci piring. Zahra yang hendak kembali ke kamar dan mengambil tas segera mengurungkan niatnya saat baru menyadari bahwa Kirana masih ada di dapur.
"Sejak kapan Kak Kirana di sini?"
"Dari tadi," jawab Kirana yang tengah menutup sebuah tempat makan berisi nasi goreng.
Zahra yang tak sengaja melihat isinya pun mengernyit. "Bukannya Zidan udah berangkat dari tadi, Kak?"
"Iya. Kenapa?"
"Kak Kirana buat bekal untuk siapa?" tanya Zahra penasaran.
Setelah selesai dirapikan, Kirana memasukkan tempat makan itu ke dalam sebuah paper bag berwarna cokelat. "Kamu mau berangkat kuliah, 'kan?"
Zahra mengangguk. "Oh itu buat saya? Duh, kan saya udah makan, Kak."
Lawan bicaranya itu menatap Zahra dengan salah satu alisnya terangkat. "Bukan buat kamu."
"Oh." Zahra menggerutu dalam hati. Ya, kalau bukan untuk dirinya, untuk apa bertanya perihal keberangkatannya? Benar-benar Kirana ini. "Lalu?"
"Kamu 'kan kuliah pagi. Saya titip bekal ini. Saya dengar kalau hari ini Farhan mau ke kampus pagi."
Zahra termangu di tempatnya. Matanya berhenti mengerjap, menatap Kirana tak percaya. "M-maksudnya Kak Kirana mau titip bekal untuk kak Farhan?"
"Ya," jawab Kirana sembari tersenyum malu. Bahkan senyuman itu menjadi senyum pertama yang Zahra lihat setelah dia menikah dengan Zidan. "betul sekali."
Zahra ingin sekali geleng-geleng kepala saat ini. Bagaimana tidak. Kirana, yang notabene adalah istri adik kembarnya, tetap memberikan perhatian kepada lelaki lain. Sedangkan dia saja tidak memberi apa pun kepada Zidan.
"Mau?"
Suara Kirana membuat Zahra kembali tersadar dari lamunannya. Lalu sekarang dia harus menjawab apa?
Berbohong dan mengatakan tidak jadi kuliah pagi? Tapi itu tidak mungkin. Kirana akan curiga. Lalu, apa harus dirinya menerima permintaan Kirana. Mengantar bekal kepada lelaki yang ia cintai, sedangkan bekal itu berasal dari seseorang yang merupakan adik iparnya sendiri.
"Kalau kamu keberatan. Nggak apa. Biar saya sendiri-"
"Nggak!" selanya. Mana bisa! Nanti yang ada Nishrina akan marah jika Kirana pergi hanya untuk mengantar bekal kepada lelaki lain. Apalagi lelaki itu adalah teman suaminya sendiri.
Apa Kirana tidak memikirkan perasaan Zidan. Jika Zidan tahu, pasti hubungannya dengan Farhan akan terganggu.
"Ya udah saya yang antar ke kak Farhan!" putusnya. "Tapi, saya nggak ada nomor dia. Nggak mungkin 'kan kita bisa ketemu di gedung sebesar itu."
Kirana berpikir sejenak. "Ah, ya. Kamu benar. Ya sudah, mana hape kamu?"
"Di kamar."
"Kamu siap-siap dulu. Saya tunggu di depan."
Zahra mengangguk kemudian berlalu. Beberapa waktu setelahnya ia berjalan ke arah depan. Ternyata Kirana menunggunya di ruang tamu. "Saya mau berangkat sekarang. Ini hapenya."
Kirana menyerahkan paper bag tadi kemudian mengambil alih ponsel milik Zahra. Setelah mengetikkan beberapa digit nomor ponsel Farhan, ia mengembalikannya.
"Oke. Nanti saya kasih kabar kalau udah. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Baru saja berbalik badan hendak berjalan menuju pintu, lagi-lagi Zahra mengurungkan niatnya. Kali ini bukan Kirana, tetapi bundanya. Sebelum kembali berbalik ke arahnya, sebisa mungkin Zahra tersenyum. "Iya, Bunda?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Turn into Reality [TAMAT]
Romance[Seri 1 || #Book 3] Kehidupan seorang Zahra Rashdan Nafisa berubah ketika dirinya bertemu dengan seorang kakak tingkat di kampusnya sekaligus ketua santri di pesantren keluarganya. Lelaki menyebalkan dengan segala batasan yang dimilikinya, mampu mem...