Matahari hari ini cukup terik. Sampai-sampai tak sedikit orang yang Zahra lalui sejak tadi mengeluh dan bergerutu karenanya.
Setelah dari kampus, mendadak dirinya mendapat pesan singkat dari Alfan. Memintanya untuk datang ke kantor. Padahal, sebelumnya Alfan sangat jarang melakukan hal tersebut jika bukan karena terdesak.
Kali ini entah apa tujuannya. Yang jelas, Zahra ingin cepat-cepat sampai di kantor dan menghindari panasnya matahari.
Mata kuliah hari ini cukup menguras isi kepalanya, jangan sampai karena ditambahi panas membuatnya lagi-lagi tidak sadarkan diri.
Sekitar satu jam dari kampus, pada akhirnya ojek daring yang dia tumpangi mulai berhenti di depan gedung tinggi milik ayahnya itu. "Makasih, ya, Pak!" ujarnya sembari menyerahkan helm serta uang tagihannya.
Zahra berjalan masuk ke pelataran kantor, menuju pintu besar terbuat dari kaca tembus pandang. Saat hendak mendorong pintu, seseorang secara kasar menabrak tubuhnya dari samping. Membuatnya sedikit tergeser. "Hati-hati, dong, Mas."
Dia berusaha tidak membentak. Meski nyatanya dia kesal karena kejadian tadi diakibatkan oleh lelaki itu yang matanya hanya tertuju pada layar ponsel.
Lelaki itu menoleh dan memundurkan kepalanya saat sadar bahwa itu adalah Zahra, kakak temannya. Tak ingin terlibat obrolan yang lebih, dia pun bergegas masuk lebih dulu meninggalkan Zahra.
Zahra berdecak. Namun, beberapa saat kemudian dia menyadari sesuatu. "Itu bukannya orang yang beberapa hari lalu datang ke rumah?" gumamnya.
Matanya berkedip bingung. Lama memikirkan dan berusaha mengingat, dia pun mengendikkan bahu dan melanjutkan perjalanannya.
Tiba di lantai teratas, Zahra sedikit berjalan lagi dari lift menuju sebuah ruangan hingga akhirnya dia berdiri di depan pintu berpelitur mewah. Diketuknya pintu tersebut hingga akhirnya mendapat perintah untuk masuk.
Dia mulai mendorong pintu. Sesaat setelah pintu terbuka lebar, Zahra terdiam saat melihat ada begitu banyak orang di dalam sana. Termasuk kedua orangtuanya, Zidan, Kirana dan Farhan. Tak lupa ibunya Kirana, dan lelaki yang sebelumnya sempat dia temui di bawah tadi.
"Masuk, Nak."
Zahra mendongak saat Nishrina bersuara. Bundanya itu berdiri di samping Alfan yang duduk di kursi kerjanya. Dia pun mendudukkan bokongnya di atas sofa kosong di samping Farhan. "Ada apa?" bisiknya pada Farhan.
Farhan menoleh singkat. Akan tetapi, lelaki itu tidak menjawabnya. Membuat Zahra mau tak mau menahan kesal.
Diedarkannya pandangannya itu ke depan, tepatnya ke arah orang-orang berpakaian khas mahasiswa. Dia mengernyit. Wajah mereka cukup familier baginya.
Tunggu, tunggu. Mereka bukannya-
"Oke. Semuanya sudah hadir di sini."
Suara Alfan mulai menginterupsi setiap pikiran orang-orang yang ada di ruangan tersebut. Termasuk Zahra.
"Beberapa orang yang ada di sini mungkin bingung apa yang akan berlangsung siang ini. Maka dari itu, saya beritahukan bahwa pertemuan ini bertujuan untuk menguak suatu kebenaran. Agar tidak lagi ada yang bersenang-senang, sementara ada pihak-pihak tertentu yang dirugikan," tutur sang ayah.
Zahra melirik ke arah Kirana yang tampak memeluk lengan ibunya. Kemudian ke arah Zidan yang berada tak jauh dari perempuan itu.
"Kirana," panggil Alfan pelan tetapi tegas. Saat Kirana menyahut, Alfan melanjutkan ucapannya, "Apa kamu sadar saat acara di rumah Rendi beberapa bulan lalu?"
"M-maksud Ayah?"
"Bisa ceritakan apa yang terjadi saat acara tersebut? Acara di mana mereka ada bersama kamu dan putra saya." Sebisa mungkin Alfan memberikan pertanyaan dengan cara yang sekiranya dapat dipahami semua orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Turn into Reality [TAMAT]
عاطفية[Seri 1 || #Book 3] Kehidupan seorang Zahra Rashdan Nafisa berubah ketika dirinya bertemu dengan seorang kakak tingkat di kampusnya sekaligus ketua santri di pesantren keluarganya. Lelaki menyebalkan dengan segala batasan yang dimilikinya, mampu mem...