Pandangan Zahra tertuju pada atap kamar yang sengaja tidak ia terangi dengan lampu. Ruang gelap itu begitu sunyi, suara putaran jarum jam yang bersahutan dengan deru napas menjadi satu-satunya suara yang ada di sana.
Ucapan Zidan tadi sore membuatnya berpikir begitu keras. Pasalnya tidak ada yang lelaki itu katakan selain kalimat terakhir yang bahkan tidak ia selesaikan. Yang ada hanyalah lelaki itu menangis tersedu tanpa henti hingga akhirnya tiba-tiba pergi meninggalkannya seorang diri.
Tapi memangnya masalah seperti apa yang bisa disangkut-pautkan dengan memiliki seorang kakak perempuan?
Zahra membuang napas bersamaan dengan posisi baring yang berubah menyamping. Dia meraih ponsel, dicarinya kontak Sashi untuk ia hubungi.
Sembari isi kepala yang terus beroperasi memikirkan ucapan Zidan, tangannya terus menahan ponsel yang sudah ia tempelkan di telinga.
"Halo, Ra! Assalamualaikum. Ada apa tumben nelepon malam-malam begini?"
"Waalaikumsalam. Sibuk nggak?" tanya Zahra.
"Nggak, Ra. Kenapa? Soal kak-"
"Kira-kira masalah apa ya yang bisa menimpa laki-laki dan itu disangkut-pautkan sama keberadaan saudara perempuan?" Zahra memotong cepat saat tahu bahwa Sashi akan menyebut nama Farhan. Sudah susah payah dirinya selama satu bulan ini mengenyahkan pikiran tentang lelaki itu, dia cukup malas jika mendengar namanya. Karena dia tahu, saat mendengarnya hatinya akan kembali terluka.
"Hamil."
Zahra mengernyit. "Mana bisa laki-laki hamil?! Sembara-"
"Heh! Bukan begitu. Laki-laki baik nggak mungkin 'kan main-main sama perempuan karena dia tahu dia punya adik atau kakak perempuan di rumah. Dia biasanya takut kalau apa yang dia perbuat ke perempuan, bakal terjadi sama adik atau kakak perempuannya itu. Nah, masalahnya itu antara dia udah merusak hati perempuan atau mungkin merusak tubuh perempuan. Sampai sini paham?"
Zahra bangkit dari posisi berbaringnya, duduk bersila sembari menatap kosong ke depan. Bagaimana bisa dia tidak berpikir ke sana?
Tapi setahunya Zidan tidak sedang dekat dengan siapa pun. Atau mungkin dia dekat dengan perempuan tanpa sepengetahuan dirinya?
Masalahnya, jika pun Zidan sudah mempermainkan perempuan. Dia tidak mungkin menangis hingga terdengar begitu menyakitkan seperti sore tadi.
Zahra menutup mulutnya dengan salah satu telapak tangan. "Apa mungkin Zidan bisa melakukan itu?"
"Ha? Apa, Zahra?"
"Ng-nggak, Shi," Zahra mengerjap. "Aku tutup teleponnya, ya! Makasih. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Zahra."
Zahra menurunkan ponselnya dengan pergerakan lemah. Bagaimana jika hal itu benar? Bagaimana jika ternyata Zidan memang telah menghamili seorang perempuan?
Airmata mulai merembes dari tempatnya membasahi pipi. Zahra menggelengkan kepala. Ini tidak mungkin! Membayangkannya saja sudah membuat hatinya terasa sakit.
*****
"Hari ini kamu ada jadwal kuliah, Zidan?" tanya Nishrina ketika mereka tengah duduk di meja makan setelah sarapan.
Zahra menoleh ke arah Zidan berada saat lelaki yang diberikan pertanyaan oleh bundanya tidak juga merespons. Sedari tadi dia perhatikan Zidan hanya diam, memakan sarapan dengan malas. Seolah ada banyak hal yang jauh lebih mengambil alih pikiran serta merta dengan perhatiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Turn into Reality [TAMAT]
Romance[Seri 1 || #Book 3] Kehidupan seorang Zahra Rashdan Nafisa berubah ketika dirinya bertemu dengan seorang kakak tingkat di kampusnya sekaligus ketua santri di pesantren keluarganya. Lelaki menyebalkan dengan segala batasan yang dimilikinya, mampu mem...