22 - GOODBYE.

418 57 13
                                    

Juanda berusaha duduk dan memegangi kepalanya yang masih terasa sakit. "Lo semua ga jadi ke 40 harinya Senja?"

Semua yang ada didalam ruangan diam dan saling pandang satu sama lain. Menatap bingung dengan arah pembicaraan Juanda. "Ngawur lo nyumpahin Senja meninggal." Omel Yudha dan tangan besarnya menepuk keras pundak Juanda.

"Maksudnya gimana? Dia kan udah meninggal, Yud. Masa lo lupa? Lo semua inget kan?" Juanda tetap kekeh dengan kalimatnya. Sebenarnya Juanda tidak mau membahas kematian Senja lagi dan lagi, tapi apa ini, kawan kawannya seakan berlaga lupa tentang apa yang sudah terjadi.

"Ju, lo mimpi ya? Dari kemarin pagi sampe tadi pagi lagi badan lo keringetan terus tapi gak bangun-bangun." Julian menepuk pelan pundak Juanda.

"Gue masih gak ngerti." Juanda mengacak rambutnya dan menemukan kepalanya baik baik saja tanpa balutan perban seperti yang diingatnya terakhir kali, hanya nyeri saja yang dia rasakan.

"Senja baik-baik aja, yaampun bolot bangetsi, masih ga ngerti juga lo? Kemaren dia udah lewat masa kritis. Noh, paling di kamarnya lagi ngabisin buah dari orang orang. Yang gak bangun bangun itu elo." Geram Dimas kesal.

"Tulang rusuknya gak patah?" Tanya Juanda belum puas.

"Kok tau tulang rusuknya patah? Gak parah sih, satu atau dua bulan juga sembuh kata dokter." Jawab Julian.

"Mending lo liat sendiri aja deh. Biar percaya kalo kecintaan lo baik baik aja. Malah lo yang gak bangun bangun." Usul Yudha diangguki yang lainnya. Dimas mendekatkan sebuah kursi roda untuk membantu membawa Juanda ke ruang rawat yang ditempati Senja.

"Ga usah, bang. Jalan aja." Cegahnya lalu perlahan berdiri dari ranjang. "Jahitan lo masih basah dongo, ya gusti ini anak ngeyel banget diomongin." Gemas Dimas lagi lalu menarik paksa tubuh Juanda agar duduk di kursi roda yang ia bawa.

"Dim, kasar banget lo." Celetuk Julian diikuti tawa renyahnya. "Gue udah kesel ya, ni anak gak bangun bangun dari kemaren. Pas bangun masih aja susah diomongin. Emang lo pada mau pas dia jalan tiba tiba jahitan perutnya copot?"

"Copot copot gigi lo rontok. Orang bego juga tau jalan sana sini doang gak bakal bikin jaitan copot."
Sanggah Julian dengan tawanya.

"Ju, tau gak kemaren Dimas frustasi banget lo gak bangun bangun. Julian juga sih, tapi sok kuat. Enak banget ya jadi yang paling muda. Paling disayang."
Yudha tertawa puas menceritakan kondisi Dimas dan Julian beberapa hari lalu saat Juanda masih belum siuman.

"Mulut lo nyapnyap banget ya, Yud." Dimas Jengkel berakhir tulang kering Yudha menjadi sasaran empuk tendangannya.

"Jadi malu gue." Gumam Juanda.

Juanda diantar masuk kedalam ruang rawat tempat Senja berada. Disana Senja duduk sambil memandang keluar jendela. Ada Ayah dan Bunda juga disana sedang menemani putri mereka. "Permisi, paket." Ucap Julian sambil mengetuk pintunya pelan.

"Loh, dah bangun?" Bunda heboh menghampiri Juanda, menepuk nepuk dan mencubit lengan besarnya. "Bun, jangan dihajar gitu Juanda nya." Cegah Senja masih lemas.

"Tante, Om." Yudha memanggil, mengisyaratkan pada keduanya agar ikut keluar, membiarkan Juanda dan Senja berdua dan membicarakan yang perlu dibicarakan.

"Jangan aneh-aneh." Ayah memberi ultimatum.

Juanda berdiri dan berjalan mendekat kearah ranjang Senja, tangannya menahan sakit jahitan basah dibagian perut, "E-eh. Main jalan aja, emang gak sakit?"

Juanda menggeleng, "Kemarin aku mimpi jelek panjang banget, aku sampe ga bisa bedain mana yang beneran mana yang mimpi. Nyata banget, Nja." Juanda mengusap wajahnya kasar, dia baru ingat sesuatu dan melirik telinga Senja, menghela nafas setelahnya. Anting-anting pemberiannya masih ada disana.

JUANDA | Jungwoo ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang