Prahara naik gunung.

368 38 2
                                    

"Ayo ma, anterin sekarang keburu telat."

Saya sebetulnya malas jika sedang berada diantara dua orang yang sedang marahan. Seperti sekarang, Brian dan Jeje sedang ribut tidak jelas sejak semalam karena Jeje yang awalnya meminta ijin pergi untuk mendaki tapi ditolak mentah mentah oleh ayahnya.

Biasanya Jeje selalu diantar ke sekolah setiap hari oleh ayahnya, sedangkan Nata dan Danan dengan mamanya. Tapi mulai pagi ini sepertinya kami akan bertukar tugas sementara waktu.

"Sarapan dulu Je, masih kepagian ini lho.."

Saat mendengar Jeje meminta ijin kemarin sebetulnya saya sudah bersiap siap akan protes, tapi kemudian urung karena Brian sudah mendahului lebih cepat dan membombardir Jeje dengan begitu tegas.

Bagaimana mungkin saya mengijinkan anak yang baru naik kelas dua smp pergi mendaki yang katanya bersama teman teman sekolahnya itu. Saya kira Brian akan mengijinkan dan membela Jeje seperti biasa, ternyata dia malah terlihat sangat menentangnya. Ini adalah pertama kalinya mereka berdua marahan begini. Kalau sudah begini Brian akan benar benar terlihat seperti bapak bapak sungguhan, karena biasanya dia cenderung santai juga sering bercanda. Mungkin karena kemarin malam mereka berdua sama sama ngotot dan keras kepala dengan argumennya masing masing, jadilah akhirnya seperti sekarang.

Pertama karena Jeje yang terlihat sudah sangat antusias ingin pergi, dan juga sifat keras kepala anak remaja seusianya yang terkadang masih suka ngeyel jika diberitahu. Lalu Brian yang dengan tegasnya melarang Jeje meskipun anaknya sudah menjelaskan beberapa hal.

"Makan Je."

Ucap Brian sambil menatap langsung kearah Jeje yang sudah membawa tas dipunggungnya. Akhirnya Jeje pun menurut untuk duduk tanpa menjawab sepatah kata pun. Nata sejak tadi sibuk dengan sarapannya dan tidak menghiraukan suasana saat ini yang terasa sedikit tidak nyaman sebetulnya. Begitupun Danan masih sibuk dengan kaus kakinya. Mungkin hanya saya sendiri yang merasa begini. Padahal bukan saya yang dimarahi tapi rasanya ikut was was.

"Ngapain buru-buru? Biasanya juga mepet mepet."

"Rahasia."

"Dengerin omongan ayah gausah ngeyel. Percuma kamu ngomong terus, pokoknya gausah ikut."

"Ayah..."

"Ya', kasih tau ini anak lo gausah nego lagi. Gue capek ngomel terus."

"Je udah deh, kamu udah ngerti juga kan kenapa gak dibolehin.." ucap saya

"13 tahun tuh udah boleh mendaki. Kenapa masih gak dibolehin sih?"

"Iya tau udah 13 tahun, tapi belom waktunya Je kamu ikutan pendakian begini apalagi cuma sama temen temen kamu. Nanti agak gedean lagi baru boleh."

Hhhhh. Mereka berdua malah mulai lagi.

"Anak kecil aja boleh, ayah tuh berlebihan."

"Je, kalo dikasih tau jangan begitu. Dengerin." Kata saya pada Jeje

"Emang kamu udah segede apa sekarang? Udah ya Je ayah gamau marah pagi pagi. Orangtua ngomong tuh turutin, itu buat kamu juga."

"Marahin lagi aja yah mas Jeje.."

"Diem Nat gausah ikutan ngomong." Saut Jeje

"Lanjutin makan cepetan."

Selepas ucapan Brian barusan Jeje lalu melanjutkan kegiatan makan nya lagi dan berhenti mendebat ayahnya. Marahnya orang yang jarang marah memang sedikit menakutkan. Karena Brian sudah marah marah tidak mungkin saya ikutan mengomeli juga. Bagaimanapun dia juga harus diberi pengertian kenapa tidak diijinkan pergi. Ternyata begini rasanya punya anak yang sudah mulai beranjak remaja.

Partner HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang