Afraid. 1

336 37 3
                                    







Saya tidak bisa lagi berpikir dengan jernih sedikit pun karena kabar yang saya dapat beberapa saat lalu. Saya rasanya begitu kelabakan setengah mati memikirkan bagaimana keadaan Brian sekarang. Jam menunjukan pukul enam lewat, baru sekitar sepuluh menit lalu saya diberitahu kalau Brian sedang berada dirumah sakit setelah mobilnya menabrak pembatas jalan saat perjalanan pulang dari kantor kerumah. Saya bahkan tidak bisa mengendalikan tangisan yang sudah pecah sejak awal tanpa bisa saya kendalikan sedikitpun.

Ini pertama kalinya, akhir akhir ini Brian memang sering terlihat kecapekan setiap dari pulang bekerja. Sedari dulu se lelah apapun dia belum pernah sampai begini. Segala kemungkinan dan pikiran pikiran buruk muncul bertubi tubi dalam kepala saya. Kalau yang terburuk sampai terjadi saya tidak bisa membayangkan akan seperti apa nantinya.

Nata dan Danan sama sekali tidak tau tentang ini, saya juga melarang Jeje yang baru beberapa menit lalu berada di dalam kamar saya berusaha untuk menenangkan agar tidak memberitahu mereka berdua. Meskipun terlihat begitu khawatir Jeje masih bisa mengendalikan dirinya tidak seperti saya. Jeje masih belum juga berhenti menuturkan kalimat kalimat yang intinya supaya saya bisa tenang lebih dulu.

"Udah jangan nangis terus dong mah, ayah pasti nggak papa." katanya sambil merangkul pundak saya dengan salah satu lengannya

"Nggak papa gimana sih Je? Mobilnya nabrak pembatas jalan sampe ringsek itu," jawab saya berucap lirih agar tidak sampai terdengar dari luar dengan masih belum juga berhenti menangis sambil berfikir bagaimana caranya mengabari mama agar tidak terlalu panik saat mendengarnya

"Mama mau nyusulin ayah kerumah sakit, kamu dirumah aja jagain adek kamu ya Je? Nanti kalo mama nggak bisa balik kerumah malem ini--" ucap saya lalu beranjak berdiri segera meraih apapun yang akan saya bawa

"Mama tenang aja, Jeje yang jagain rumah sama Nata Danan. Mama ati ati ya berangkatnya. Jeje tungguin dirumah."

Saya takjub, disaat saat seperti ini Jeje bukannya malah memperparah situasi justru dia berusaha memberitahu seolah semuanya pasti akan baik baik saja. Saya bangga dengan kedewasaan anak saya yang bahkan sebetulnya baru beranjak remaja ini.

"Tenang aja, mama nggak akan ninggalin kalian dirumah lama lama. Nanti kalo nggak ada yang bisa dimintain tolong pasti mama pulang kok Je," sambung saya meraih Jeje ke dalam pelukan saya sejenak sebelum benar benar bersiap keluar

"Ati ati ya mah," lirihnya terdengar sangat khawatir

"Pokoknya jangan kemana mana. Dirumah aja, jangan lupa kunci semua pintunya. Pintu belakang juga."

"Iya ma. Ati ati ya," katanya lagi lagi berujar hal yang sama

"Iya Je. Mama berangkat ya, kalo Nata sama Danan nanyain jangan dikasih tau dulu."

"Kalo udah nyampe kabarin ya mah, kasih tau juga ayah gimana." saya membalas ucapan Jeje dengan mengangguk mantap seraya berjalan agak mengendap endap keluar menuju pintu depan

Untungnya saya berhasil keluar dari rumah tanpa sepengetahuan Nata ataupun Danan yang memang sedang berada dikamar mereka masing masing. Pikiran saya begitu tenggelam dalam kekalutan karena bercabang cabang memikirkan banyak hal. Terlebih karena harus meninggalkan anak anak di malam hari begini.

Usai berhasil mengabari mama dengan intonasi yang berusaha saya buat setenang mungkin, saya buru buru meninggalkan area pagar depan rumah lalu bergegas menyusul ke rumah sakit.

Di jam segini jalanan biasanya sedang padat padatnya. Sepanjang perjalanan saya terus terusan gemetaran, yang terlintas di pikiran saya hanya tentang hal hal buruk yang mungkin saja sedang Brian alami sekarang. Rasa takut memang jadi hal yang selalu berusaha saya hindari dalam segala situasi, tapi kali ini tuhan malah menghadapkan saya dengan ketakutan yang tidak mungkin bisa saya hindari barang sedikitpun. Ini juga pertama kalinya setelah sekian lama saya menangis sampai sesenggukan tanpa tau bagaimana caranya berhenti.

Partner HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang