Prolog

1.6K 271 479
                                    

Heejin menyelimuti seluruh tubuhnya. Dia menangis sejadi-jadinya, dada yang terasa sangat sesak hingga sulit bernafas. Satu-satunya alasan yang membuatnya bertahan di dunia ini telah pergi.

Kemarin Heejin menaburkan abu adik yang sangat ia sayangi ke laut. Jeon Rijin, adiknya yang masih berusia 13 tahun itu harus pergi karena sakit leukemia yang diderita selama 4 tahun.

Orang tua Heejin sudah pergi terlebih dahulu. Saat Heejin masih berusia 15 tahun, dia dan orang tuanya terlibat sebuah kecelakaan besar. Waktu itu mereka ingin membeli hadiah ulang tahun untuk Rijin. Namun bak keajaiban, meskipun insiden itu merenggut nyawa belasan orang, Heejin hanya mendapat luka ringan.

Tetapi justru itu yang membuat Heejin marah pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia baik-baik saja sementara orang tuanya meninggal. Padahal mereka pergi bersama, terlebih Heejin-lah yang punya ide untuk pergi membeli hadiah malam itu.

Heejin benar-benar tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Dia juga tidak benar-benar mengerti dengan perasaannya sendiri, dia hanya menyalahkan dirinya. Sementara saat semua itu terjadi, Rijin masih terlelap di rumah, tidak tahu apa-apa.

Rijin yang terbangun dan menyadari bahwa dia ditinggalkan sendirian di rumah, menangis dengan keras dan memanggil kedua orang tuanya. Dia juga pergi ke kamar Heejin tapi tidak ada satu orang pun di rumah malam itu.

Setelah Rijin mengetahui semuanya, dia membenci dan menyalahkan semua yang terjadi pada kakak perempuannya itu. Baginya, Heejin-lah yang telah merenggut kebahagiannya, membuat orang tua yang sangat dicintainya tewas dalam kecelakaan, membuat Rijin yang ketakutan ditinggalkan sendiri di malam itu dan yang paling menyakiti hati Rijin adalah semua kejadian itu terjadi tepat sehari sebelum ulang tahunnya.

Semenjak kejadian itu, Heejin dan Rijin dibesarkan di sebuah panti asuhan karena tidak ada keluarga dekat mereka yang ingin mengurus mereka. Tinggal di panti asuhan bagi Heejin dan Rijin memberikan kesedihan tersendiri bagi mereka. Tidak sedikit anak yang mengucilkan mereka berdua. Pengurus panti juga tidak terlalu ramah karena mereka lelah dengan tugas sehari-hari mereka jadi tidak ingin ambil pusing dengan hal-hal lainnya.

Meski Rijin terus berlaku seenaknya pada Heejin, Heejin tidak melawan. Meski Rijin terus berkata dia membenci eonninya itu, Heejin tetap melakukan apapun untuk kebahagiaan Rijin.

Tepat setahun mereka tinggal di panti asuhan itu, Heejin berhasil menemukan tempat tinggal untuk mereka berdua. Rijin selalu ingin pergi dari panti itu karena banyak anak-anak yang mengganggunya.

Oleh karena itu, Heejin berusaha keras untuk mengumpulkan uang dengan caranya sendiri. Ditambah sedikit tabungan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, akhirnya Heejin bisa mendapatkan sebuah tempat tinggal kecil di Seoul.

Rijin tentu sangat senang, tapi sikap dinginnya pada Heejin tidak juga mencair. Bagi Rijin, ini adalah hal yang sudah sepantasnya dilakukan oleh kakaknya itu. Heejin bersekolah sambil melakukan banyak perkerjaan sambilan demi bisa membiayai hidupnya dan adiknya. Tentu saja dia juga harus sangat berhemat.

Beberapa bulan kemudian, Rijin divonis menderita leukemia. Tentu saja ini kembali membuat mereka berdua terpukul. Heejin terpaksa putus sekolah demi bisa mencari uang lebih giat lagi, sementara itu Rijin harus berjuang melawan sakit yang sangat menyiksanya.

Lama-kelamaan akhirnya Rijin menyadari betapa besar rasa sayang Heejin padanya, dia menangis dan memberitahu Heejin bahwa dia menyesal telah bersikap kasar dan bahwa dia menyayangi eonninya itu.

Semua kata-kata Rijin itu memberikan kekuatan pada Heejin. Sebenarnya, semua ini terlalu berat bagi Heejin. Meski dia adalah anak tertua, tapi saat itupun usianya juga masih sangat belia. Dia ingin menyerah dengan kehidupan yang melelahkan ini.

Bertahun-tahun Heejin bekerja keras, dan hidup demi adiknya. Tapi sekarang satu-satunya keluarganya itupun telah pergi. Heejin kehilangan pegangan hidupnya. Kini baginya, sudah tidak ada lagi alasan untuknya tetap bertahan di kehidupan ini.

Heejin merasakan sakit yang sangat pada kepalanya, karena dia terlalu lama menangis. Dadanya juga semakin terasa sesak. Dia pingsan.

"Hwajabun*, apa anda bisa mendengar saya?" Tanya seorang dokter pada Heejin.

*) Pasien.

Heejin melihat dokter itu menatap ke arahnya, tapi dia tidak mendengar apapun. Perlahan dia kembali menutup matanya.

"Pasien bernama Jeon Heejin, usia 20 tahun. Dia ditemukan tidak sadarkan diri oleh petugas keamanan di dalam tempat tinggalnya. Tekanan darah dan suhu tubuhnya rendah." Lapor seorang perawat pada dokter UGD yang menangani Heejin.

---

Heejin menapakkan kakinya di rerumputan kecil yang hijau, dia melihat ke sekeliling. Sangat cerah. Banyak bunga-bunga dan banyak kupu-kupu yang beterbangan.

"Eonni!"

Heejin menoleh, dia melihat Rijin yang melambaikan tangan ke arahnya sambil tersenyum hangat.

"Rijin-ah!" Heejin berlari dan memeluk erat Rijin, adik yang sangat disayanginya.

"Apa kau baik-baik saja?" Tanya Heejin.

"Iya! Eonni, pemandangan di sini sangat cantik bukan?"

"Iya, sangat cantik. Kau juga terlihat sangat cantik sekarang." Heejin membelai rambut adiknya itu dan memandang wajahnya.

Air mata mulai membasahi pelupuk matanya, "Maaf, semua penderitaan yang kau alami adalah salahku."

Rijin menggeleng, "Tidak eonni, walau bagaimanapun aku sangat menyayangimu. Jangan berbicara seperti itu."

Rijin menggengam kedua tangan Heejin, "Eonni, bagaimana jika kita tinggal bersama di sini? Hmm?"

"Di sini?" Heejin melihat ke sekeliling. Semuanya terlihat sangat indah dan damai.

"Iya, nanti kita akan bertemu ayah dan ibu bersama-sama. Kau pasti juga merindukan mereka kan?"

Meskipun itu terdengar seperti ide yang bagus, entah mengapa Heejin tidak yakin untuk menerima tawaran adiknya itu. Rijin menggengam tangan kanan Heejin dan memimpin jalan.

Heejin mengikuti langkah kaki adiknya, namun tiba-tiba saja dia merasakan sesuatu. Dia menoleh, berjalan mendekati sesuatu yang bahkan dia tidak tahu apa, dan kemudian dia melihat ada sesosok laki-laki. Laki-laki itu berjalan menjauhi Heejin, Heejin mengikutinya perlahan.

Tak lama, Heejin melihat cahaya yang sangat terang hingga dia menyipitkan matanya. Heejin terbangun. Dia menatap langit-langit rumah sakit, begitu terang. Heejin menoleh ke sampingnya, lalu dia bisa mendengar betapa riuhnya ruang UGD malam itu.

---

Oke, pemanasannya sampai sini saja~
Jangan lupa vote dan commentnya ya^^

Next: 01

Lucid Dream✔ • Heejin JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang