Bab 1

10.3K 795 49
                                    

Lift itu sudah hampir menutup, dan Aluna harus lebih cepat lagi berlari agar ia tidak di tinggalkan. 20 menit lagi ia harus tiba di departemennya, ada beberapa proposal yang harus ia serahkan pagi ini pada atasannya, yang mana seharusnya sudah ia kerjakan dari kemarin.

Aluna merasa bersyukur saat salah seorang rekan kerja yang di kenalnya menahan pintu lift untuknya.

"Buru-buru banget Lun?" Seseorang menyapanya.

Aluna hanya tersenyum tipis, tanpa menanggapi pertanyaan itu sama sekali. Nafasnya masih memburu di dalam lift yang padat akan karyawan. Aluna yakin, kini semua orang sedang menatap ke arahnya, keringat yang mulai mengucur dari dahi dan juga rambut yang sedikit berantakan, pastilah menjadi penyebab dirinya menarik perhatian mereka. Tapi sungguh, Aluna tidak peduli. Toh, dia bukan lagi wanita yang kerap menjaga penampilannya seperti 4 tahun lalu. Kini, Aluna selalu tampil apa adanya, dan tidak pernah berminat untuk menonjolkan penampilannya demi bisa menarik perhatian lawan jenis.

Dan begitu tiba di lantai tujuan, Aluna langsung berlari menuju ruangannya. Tiba disana, ia tertegun saat melihat hampir semua rekan kerjanya sudah berada pada kubikelnya masing-masing. Mereka seperti sedang membahas sesuatu yang seru, namun Aluna tidak berminat untuk mengetahuinya. Dengan reflek, Aluna memeriksa jam di tangannya, biasanya di jam segini hanya akan ada dirinya dan juga beberapa staff yang tergolong rajin dalam bekerja di sana. Tapi ada apa dengan hari ini, hingga Milka saja yang biasa datang terlambat, kini sudah duduk manis pada kubikelnya.

Seperti biasa, Aluna memilih untuk bersikap abai pada sekitarnya. Dia langsung duduk di kursinya, lalu menyalakan komputernya, menginput beberapa data yang belum di masukkan ke dalam proposal yang akan ia serahkan pagi ini.

"Eh Mbak Luna, udah tahu belum, kalau hari ini Pak Mesach mau kunjungan kemari?"

Tiba-tiba rekan kerjanya yang bernama Della menegurnya, dia bahkan sampai harus menyeret kursi ke sebelah Aluna supaya bisa berbicara lebih dekat dengan wanita yang tampak sudah tidak lagi peduli pada apapun itu, selain pada komputer dan beberapa berkas di hadapannya.

"Elah, Mbak Luna mana tahu coba! Dia kan bukan biang gosip kayak lo-lo pada!" timpal Tito dengan gayanya yang menyebalkan.

Celetukan itu sontak membuat si pemilik suara mendapatkan pelototan berbahaya dari teman-temannya, terutama Della yang langsung melemparinya dengan bolpoin.

"Sewot sih? Gue kan ngomongin fakta!"

"Faktanya adalah elu naksir si Milka, sementara dia kagak!" seru Della dengan nada kesal.

Milka yang tengah sibuk berhias di kubikelnya mau tak mau menoleh ke tempat mereka. "Ko' gue di bawa-bawa sih, resek lu Del!"

Dengan reflek Milka melempar spons bedak ke arah keduanya, tapi langsung di tangkap oleh Tito untuk kemudian di ciumnya dengan gaya berlebihan.

"Cium beginiannya doang juga gue mah udah seneng, suwer deh!" kata Tito dengan kerlingan jahilnya.

Della sudah seperti akan muntah, sementara wajah Milka sudah terlihat merah padam, entah karena malu atau karena kesal. Tidak lagi mengatakan apapun, Milka langsung merebut spons itu kembali, dengan raut galak yang sama-setiap kali ia berhadapan dengan Tito. Pria yang hampir dua tahun ini terus mengejarnya dengan tidak tahu malu.

"Nggak salah deh, gue suka sama lo. Marah aja udah cakep, gimana kalau senyum, bisa makin meleleh gue." Tito kembali tergelak usai Milka menjulurkan lidah padanya.

"Ya Tuhan, kenapa gue di kelilingi sama manusia-manusia absurb kayak mereka sih?" cela Della lebih kepada dirinya sendiri.

"Jangan gitu, nanti kalau kamu yang jodoh sama si Tito, gimana?"

SWEET DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang